CSR DAN PERUSAHAAN :
Tuntutan globalisasi mewajibkan perusahaan harus kompetitif dan sustainable, dimana persaingan antar perusahaan semakin ketat. Untuk menciptakan perusahaan yang kompetitif, maka perusahaan perlu didukung oleh aspek-aspek internal perusahaan (misalnya kinerja keuangan, SDM, dan teknologi) yang handal dan aspek eksternal perusahaan (misalnya pasar, customer base, relasi, lingkungan dan regulasi pemerintah). Salah satu hal yang berpengaruh terhadap kelangsungan sebuah perusahaan namun belum mendapat perhatian serius dari pihak perusahaan (pengurus dan pemegang saham) adalah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan / Corporate Social Responsibiliy (selanjutnya disebut CSR).
Menurut The World Business Council for Sustainable Development (WBCSR) in fox, et al (2002), definisi CSR atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan adalah :
“komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komuniti-komuniti setempat (lokal) dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan”.
Jadi dengan demikian CSR pada dasarnya memiliki keinginan yang sama yakni menjalankan bisnis dengan lebih bermartabat, dengan konsekuensi akan mengurangi profit. Pengusaha seharusnya menjalankan bisnis tidak semata untuk profitability melainkan lebih dari itu, sustainability. Kesadaran menjalankan bisnis bukan sekedar mencari profit semata, yang masih minim dimiliki oleh sebagian pelaku bisnis di Indonesia, namun faktor kesinambungan tersebutlah yang sangat menentukan masa depan sebuah usaha.
Sebagai contoh dari persoalan diatas, jika Anda seorang pengelola usaha, maka Anda punya pilihan untuk mendapatkan keuntungan antara 35 % sampai dengan minimal 10%. Agar mendapatkan keuntungan 35 %, Anda harus rajin melobi para pejabat, menjilat para atasan, mengelabui mitra usaha, dan mengesampingkan social responsibilty, tetapi risikonya bisnis Anda paling tidak hanya mampu bertahan selama 5 tahun, karena banyaknya masalah yang timbul dari praktik usaha semacam itu.
Namun, jika Anda memilih keuntungan yang lebih sedikit, 10% tetapi dengan memperhatikan etika bisnis serta mempunyai social responsibility yang besar, bisnis Anda jelas akan dapat berjalan dengan baik.
Pernyataan diatas diperkuat dengan hasil penelitian terbaru dari Hill, Ronald et.al (2007:)[1] yang melakukan penelitian terhadap beberapa perusahaan di Amerika Serikat, Eropa dan Asia yang melaksanakan praktek CSR lalu menghubungkan dengan value perusahaan, diukur dari nilai saham perusahaan-perusahaan tersebut. Penelitian tersebut menemukan bahwa setelah mengontrol variabel-variabel lainnya, perusahaan yang mempraktekan CSR pada jangka pendek (3-5 tahun) tidak mengalami kenaikan nilai saham yang siginifikan, namun dalam jangka panjang (10 tahun), perusahaan yang berkomitmen terhadap CSR tersebut, mengalami kenaikan nilai saham yang sangat signifikan dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang tidak melaksanakan praktek CSR.
Dari penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa CSR dalam jangka pendek memang tidak memberikan value yang memadai bagi pemegang saham, karena biaya CSR, malahan mengurangi keuntungan yang bisa dicapai perusahaan.Namun demikian, dalam jangka panjang, perusahaan yang memiliki komitmen terhadap CSR, ternyata kinerjanya melampaui perusahaan –perusahaan yang tidak memiliki komitmen terhadap CSR, atau dengan kata lain CSR dapat menciptakan value bagi perusahaan, terutama dalam jangka waktu yang panjang.
Peluang untuk hidup dan berkompetisi dalam jangka panjang pun akan lebih terjamin, karena masyarakat kita bukanlah masyarakat yg masih dapat dibodohi oleh sisi eksternal perusahaan, masyarakat sekarang lebih kritis dan peka terhadap kinerja dan kontribusi perusahaan terhadap dunia luar.
Selanjutnya kondisi sekarang di Indonesia Pada dekade terakhir kerapkali terjadi kecelakaan, musibah dan penipuan yang disebabkan oleh kalangan perusahaan, sehingga menimbulkan stigma negatif perusahaan di kalangan masyarakat (stakeholders) seperti pada kasus pencemaran di Teluk Buyat oleh perusahaan Newmont Minahasa, masalah pembakaran hutan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit di Sumatra dan Kalimantan, masalah pemberdayaan masyarakat suku di wilayah pertambangan Freeport Papua, masalah semburan lumpur panas Lapindo di Surabaya dan terakhir yang heboh adalah kasus Bank Century yang hingga kini masih triliunan rupiah dana nasabah tidak dapat dipertanggungjawabkan, ini merupakan contoh terburuk dari praktik bisnis yang tidak bertanggung jawab.
Memang hal ini lebih dikarenakan faktor teknis dan human error- yang telah menjadi “pemicu” untuk kembali menyerukan tanggung jawab kalangan perusahaan terhadap lingkungan sekitarnya. Sehingga menjadi alasan perlunya kesadaran terhadap Corporate Social Responsibility demi tercapainya sebuah keseimbangan dunia usaha antara pelaku dan masyarakat sekitar (Local community).
Semenjak keruntuhan rezim Orde Baru, masyarakat semakin berani berinspirasi dan mengekspresikan tuntutan terhadap perkembangan dunia bisnis Indonesia. Masyarakat telah semakin kritis dan mampu melakukan filterisasi terhadap dunia usaha yang berkembang di tengah masyarakat. Hal ini menuntut para pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya dengan semakin bertanggungjawab. Pelaku bisnis tidak hanya dituntut untuk memperoleh capital gain (profit) dari lapangan usahanya, melainkan mereka juga diminta untuk memberikan kontribusi baik materiil maupun imateriil kepada masyarakat dan pemerintah.
CSR yang seharusnya telah terintegrasi dalam hierarki perusahaan sebagai strategi dan policy manejemennya, tetap masih dipandang sebelah mata oleh kebanyakan pelaku bisnis di Indonesia. Esensi dan signifikansi dari CSR masih belum dapat terbaca sepenuhnya oleh pelaku bisnis, sehingga CSR sendiri baru sekedar wacana dan implementasi atas tuntutan masyarakat. Hal ini otomatis akan mengurangi implementasi dari CSR itu sendiri.
Masalahnya semakin rumit ketika tetap saja para pelaku dan investor berpijak pada stereotipe bahwa CSR tidak profitable, tidak berdampak langsung terhadap peningkatan pendapatan perusahaan. Mereka cenderung ingin yang instan, langsung mendapat profit besar, tanpa peduli terhadap masalah-masalah eksternal perusahaan. Selain itu, investor juga terlalu menginginkan realisasi investasi mereka untuk sektor riil dalam artian benar-benar berdampak langsung terhadap peningkatan pendapatan. Padahal, CSR memiliki dimensi yang jauh lebih rumit dan kompleks dari sekedar analisis laba-rugi.
Pengenalan terhadap budaya setempat atau analisis terhadap need assesment semestinya menjadi hal krusial yang mesti dilakukan. Poin diatas inilah yang terkadang menyebabkan konflik kepentingan, sehingga dunia usaha terkadang merasa program CSR bukanlah kompetisi mereka. Paradigma mengenai kontribusi pajak perusahaan terhadap negara semakin menambah runyam. Ada beberapa kalangan yang menilai jika masalah sosial hanya merupakan tanggungjawab negara saja, dunia usaha cukup membayar pajak untuk memberikan kontribusi terhadap masyarakat.
Pemikiran ini sudah tidak relevan, justru perusahaan yang akan memenangkan kompetisi global adalah perusahaan yang memiliki kemampuan public relation yang baik, salah satunya dapat dicapai dengan mencanangkan program CSR yang terintegrasi sebagai standar kebijakan dan strategi bisnis mereka. Lagipula, dengan adanya anggapan bahwa dunia usaha merupakan bagian yang terintegrasi dalam masyarakat, sudah sepatutnya jika dunia usaha berkewajiban untuk membantu menyelesaikan masalah sosial yang ada dalam kehidupan bermasyarakat.
Selain itu, semestinya dunia usaha tidak mengganggap CSR sebagai kewajiban yang memaksa, sebagai refleksi dari tuntutan masyarakat terhadap dunia usaha. Jika perusahaan masih mempertahanakan paradigma lamanya maka cepat atau lambat, benih irihati, ketidak puasan, kemarahan masyarakat (stakeholders) akan berdampak adanya anarkisme, vandalisme, maupun bentuk-bentuk kegiatan represif dari masyarakat lainnya akan berbuntut panjang pada penolakan kehadiran perusahaan dan aksi protes kalangan masyarakat karena tidak memberikan kotribusi yang nyata.
CSR DAN PERBANKAN
Terlepas dari hal diatas, bisnis perbankanpun (baca lembaga perbankan) tidak luput dari tanggung jawab sosial yang harus diemban, karena lembaga ini merupakan lembaga kepercayaan, sehingga dalam menjalankan fungsi perbankan wajib memperhatikan kepentingan nasabah dan kepentingan masyarakat (stakeholders). Apabila diabaikan maka cepat atau lambat bisnis perbankan bisa terpuruk.
Jadi dengan kata lain lembaga perbankan tidak saja memiliki tanggung jawab ekonomi moneter menerapkan prinsip kehati-hatian Bank (Prudential Bank), sebagai lembaga intermediasi untuk menerima dan menyalurkan kembali dana masyarakat, di luar itu juga ada tanggung jawab etis, sosial dan tanggung jawab discretionary, yaitu tanggung jawab yang semestinya tidak harus dilakukan tapi dilakukan atas kemauan sendiri.
Sebagai contoh Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia, sesuai Undang-Undang Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2004, Bank Indonesia diwajibkan untuk dapat mencapai dan memelihara kestabilan nilai tukar rupiah. Untuk mencapai tujuan Bank Indonesia tersebut, terdapat tiga pilar utama yang menjadi tugas Bank Indonesia yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan mengatur dan mengawasai bank. Selain dituntut untuk dapat melaksanakan tugas-tugas utamanya tersebut, Bank Indonesia juga diminta untuk tetap memiliki kepedulian terhadap lingkungan (komunitas) sebagai wujud corporate social responsibility.
CSR BPD
Disamping itu bank umum seperti BPD selain merupakan lembaga kepercayaan, juga merupakan lembaga pendukung pembangunan daerah, karena secara filosofi BPD didirikan dengan peran sebagai alat penggerak perekonomian daerah dalam menopang pembangunan infrastruktur, UMKM dan turut memikirkan kondisi sosial masyarakat lokal yang semakin marginal (baca semakin miskin) serta menjalankan fungsi intermediasi daerah (development bank).
Menurut Badan Pusat Statistik, Jumlah penduduk miskin (dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada tahun 2008 yakni 34,96 juta jiwa (15,4%), sedangkan jumlah pengangguran pada tahun 2008 sebanyak 9,43 jiwa (8,46%).
Memperhatikan kesenjangan yang semakin besar tersebut, muncul berbagai reaksi untuk memperbaikinya, antara lain program stimulus fiskal seperti perbaikan kesejahteraan, bantuan langsung tunai (BLT), beras rakyat miskin (RASKIN) dan sebagainya yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kenyataan menunjukkan bahwa upaya-upaya mengentaskan kemiskinan sering tidak membawa hasil, karena pemerintah tidak memiliki daya dan dana yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar tersebut.
Dengan memperhatikan kondisi tersebut sudah saatnya BPD seluruh Indonesia wajib menjadikan CSR sebagai “roh” untuk memberi nilai tambah kepada masyarakat setempat (stakeholders). Jika BPD masih mempertahankan paradigma lamanya maka siap-siaplah menerima risiko reputasi dan risiko hukum dikemudian hari.
Berangkat dari pemahaman diatas, dapat ditarik benang merah bahwa BPD wajib melaksanakan CSR dalam usahanya agar tercapai keseimbangan dan kesejahteraan masyarakat lokal, semoga...
[1] Hill, Ronald, Thomas Ainscough, Todd Shank and Dary Manullang, Corporate Social Responsibility and socially Responsible Investing : A Global Prespektive, Journal of Business Ethick; Januari 2007, Volume 70 Issue 2, p165-174.
No comments:
Post a Comment