Game Dragon hills mod apk

Game yang keren

Tuesday, December 07, 2010

MENEBAK ARAH CSR pasca UU PT 2007

Oleh Juniati Gunawan 07 April 2010 Heboh! Itu kata pertama yang dapat digambarkan saat Undang-Undang Perseroan Terbatas no. 40 tahun 2007 disahkan pada tanggal 20 Juli yang lalu. Ternyata yang membuat heboh adalah Pasal 74 yang mengatur tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan. Memang merupakan lompatan tajam yang cukup mengagetkan bagi kalangan bisnis di Indonesia, mengingat mereka baru saja ‘menyesuaikan diri’ dengan istilah ‘Corporate Social Responsibility (CSR)’ yang akhir-akhir ini amat sering disebut-sebut. Walau kenyataannya praktek CSR sebenarnya adalah praktek ‘biasa’ yang telah lama dilakukan oleh perusahaan di Indonesia, namun banyak hal baru yang harus digali untuk memperkaya praktek tersebut. Misalnya kegiatan ‘donasi’, yang sering di klaim bahwa itu adalah praktek CSR. Memang benar, donasi adalah salah satu aspek dari CSR, namun CSR jauh mempunyai arti lebih dari itu. Makin marak dan berkembangnya kajian ilmiah yang memperdalam pengertian CSR, pada akhirnya bermunculan berbagai macam ‘ilmu baru’ yang berhubungan dengan isu ini. Tujuannya jelas, yaitu mengingatkan kepada semua manusia di bumi ini untuk sadar akan kelangsungan hidup yang seimbang di semua bidang. Cakupan yang amat luas ini dapat disederhanakan dengan pengertian ‘take and give’; apa yang telah kita ambil, harus kita kembalikan dengan adil. Ternyata prinsip yang sederhana ini sangatlah tidak mudah dijalankan. Kenyataannya, tidak hanya di Indonesia, berbagai masalah CSR merebak ke seluruh penjuru dan menjadi ‘isu dunia’, terlebih bagi banyak negara berkembang, termasuk kita disini. Kembali ke persoalan UU PT yang berisi kewajiban pelaksanaan kegiatan CSR, ternyata lebih menghebohkan lagi karena Indonesia adalah satu-satunya negara yang memberanikan diri membuat UU bagi si ‘CSR’ ini. “No other country has done this before”, begitu komentar Prof. David Crowther, seorang professor CSR terkenal dari London, UK, saat mendengar hal ini. Memang beberapa negara mempunyai petunjuk pelaksanaan CSR, namun sifatnya adalah code of conduct, bukan merupakan suatu hukum. Lebih jauh, Prof. Crowther mengajukan pertanyaan yang perlu dijadikan perenungan: Apa bentuk kegiatan yang diwajibkan? Bagi siapa? Bagaimana bentuk pelaporannya? Siapa yang mengevaluasi? Bagaimana standar evaluasinya? Dan bermacam-macam lagi pertanyaan dilontarkannya, yang tidak sepenuhnya bisa terjawab sekarang. Maka kini akan kita coba siapkan jawabannya…? Walau tanpa jawaban memuaskan, akhirnya si professor masih begitu antusias dengan menegaskan; “Anyway, I would be interested to hear how Indonesia is doing this”. Kalimat ini agaknya berlaku bagi kita semua yang memang ingin mengetahui bagaimana hal ini nantinya dilakukan. Perlu dicermati apakah orang memang tertarik dan ingin mengetahui ‘keberhasilan’ Indonesia dalam menerapkan pasal ini atau bahkan sebaliknya, mereka skeptis dan ingin segera mengetahui bagaimana ‘gagalnya’ pelaksanaannya (mudah-mudahan tidak!) hingga menimbulkan persoalan-persoalan lain yang masih menumpuk. Sambil menyiapkan jawaban atas semua pertanyaan diatas, menyiapkan hati untuk mendukung yang terbaik, mari kita kaji kembali aturan ini. Tanpa bermaksud untuk apriori terhadap pihak manapun, artikel ini dimaksudkan sebagai sebuah opini yang mudah-mudahan berguna untuk langkah ke depan bagi semua pihak, baik pemerintah maupun dunia usaha. Kemungkinan bergeser-tidaknya arah CSR juga akan coba diprediksi, sekali lagi, untuk memberikan gambaran kira-kira apa konsekuensi dari sebuah hukum yang harus kita jalankan dengan baik. Apapun hasilnya, toh kita harus melangkah ke depan. Pra-Undang Undang dan Lingkup CSR Perancis merupakan Negara yang sudah mewajibkan perusahaan publiknya mengeluarkan CSR report, walau secara implicit kewajiban ini menyiratkan adanya keharusan melakukan CSR, namun masih terkesan sukarela dalam kualitas dan kuantitas aktivitasnya. Kewajiban ini tidak menjadi kendala karena tanpa keharusan mengeluarkan laporan CSR pun, perusahaan publiknya memang sudah sadar untuk selalu melaporkan kegiatan CSRnya. Artinya, kewajiban adanya CSR report merupakan kewajiban untuk ‘memformalkan’ suatu kegiatan, bukan ‘memaksakan’ adanya kegiatan. Mengutip pernyataan ketua umum KADIN Indonesia; Mohamad S. Hidayat bahwa UU PT pasal 74 ini dimaksudkan untuk mengakomodasi praktek CSR yang selama ini berjalan namun belum diatur dalam undang-undang lama. Alangkah baiknya bila pernyataan ini dibarengi dengan fakta sejauh mana praktek itu telah dicermati, seperti misalnya, bentuk CSR seperti apa yang sudah dilakukan oleh perusahaan selama ini, benarkah itu bisa disebut sebagai CSR, atau kegiatan sosial yang hanya merupakan satu aspek dari arti CSR yang sesungguhnya, benarkah pengertian CSR telah dipahami oleh semua pihak, termasuk DPR, dan banyak lagi pertanyaan yang bisa diajukan. Bila informasi ini tersedia, maka akan lebih mudah mendefinisi CSR yang sudah dilakukan oleh perusahaan di Indonesia dan implikasinya untuk menuju ke aspek-aspek CSR selanjutnya. Memang inilah yang harus kita pelajari dan sosialisasikan sesuai dengan tujuan akhir dari UU PT ini yaitu kearah pelaksanaan CSR yang menyeluruh dan berhasil guna bagi semua pihak. Secara teori, pelaksanaan CSR yang dibuat mandatory masih meragukan karena begitu banyak aspek yang harus dicermati. Seandainya mungkinpun, bisa jadi persoalan yang timbul akan semakin banyak dan akhirnya kegiatan CSR itu sendiri yang menjadi korban demi ‘sang regulasi’. Pada artikel ‘Regulasi dalam CSR: perlukah?’ di majalah ini beberapa waktu yang lalu, sebenarnya prediksi arah meregulasikan CSR sudah dibahas, lengkap dengan tahapan persiapannya. Yang menjadi pertanyaan, apakah memang DPR sudah melakukan tahap persiapan tersebut untuk menjadikan CSR sebagai sebuah regulasi? Bila belum, ini bisa menjadi kendala. Namun masih ada harapan untuk mengkaji tahapan ini sebelum peraturan pelaksanaan UU dikeluarkan. Sedikit mengurai tahapan yang pernah dikemukakan sebelumnya, yaitu: 1. Guidelines 2. Specific recommendations 3. General mandatory requirements 4. Mandatory requirements Bila kenyataannya kini kita sudah pada tahap ke-4, yaitu mandatory reguirements, tak ada salahnya menyiapkan kembali tahap 1 sampai 3 bagi peraturan pelaksanaannya, apabila memang masih diperlukan. Artikel ini tidak akan membahas lagi tiap tahap diatas seperti yang pernah diuraikan sebelumnya, namun mengurai hal-hal yang perlu untuk langkah selanjutnya. Arah pelaksanaan CSR yang harus dijalankan oleh perusahaan akan menjadi lebih jelas bila beberapa aspek dibawah ini diurai sebagai panduan, misalnya: 1. Pelaksana Pelaksana menyangkut kelompok individu dalam sebuah unit yang bertanggung jawab untuk melaksanakan aktivitas sosial perusahaan dengan jenjang dan bagian pekerjaan yang jelas. Unit ini dapat berdiri sendiri yang langsung bertanggung jawab kepada kepala bagiannya, misalnya unit community development dibawah departemen CSR atau menjadi unit yang bertanggung jawab kepada atasannya bersama unit lain, misalnya dibawah departemen hubungan masyarakat. Idealnya memang CSR merupakan unit yang berdiri sendiri sehingga tujuan dan kegiatannya tidak bercampur dengan unit lain. Yang lebih penting, pelaksanaannya bisa menjadi lebih independen sehingga laporannya pun menjadi tersendiri. Otoritas dari unit atau departemen CSR perlu diperhatikan untuk menjamin kualitas pelaksanaan yang berhasil guna. Oleh karenanya, perusahaan harus memikirkan yang terbaik bagi posisi unit CSR ini dalam sebuah struktur organisasi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. 2. Lingkup pelaksanaan Aktifitas CSR untuk tiap perusahaan tidak dapat disamakan. Aktifitas ini harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi disekitar perusahaan. Yang jelas, lingkungan terdekat perusahaan biasanya menjadi prioritas utama aktivitas sosial. Tujuannya agar ‘ijin sosial’ dari masyarakat sekitar atas operasi perusahaan dapat berjalan lancar. Yang perlu ditekankan adalah proses pembelajaran dan kemandirian masyarakat sebagai respon atas kegiatan sosial yang dilakukan perusahaan tidak boleh ditinggalkan. Tanpa hal ini, tidak mustahil aktivitas CSR menjadi sia-sia. Rencana aktivitas CSR dapat di buat awal tahun, sama halnya dengan membuat activities plan yang dimasukkan dalam anggaran belanja. Bila ini dilakukan, CSR dapat dikatakan telah menjadi suatu bagian dari core business perusahaan. Box 1 Lingkup aktivitas CSR secara garis besar dapat digolongkan menjadi enam bagian, yang masing-masing dapat diuraikan lebih lanjut dan tidak akan dibahas detail dalam kesempatan ini: i. Lingkungan hidup (environment), meliputi; pencegahan semua polusi, pemanfaatan limbah, daur ulang, pelestarian lingkungan hidup, pencegahan pemanasan global, dll ii. Efisiensi energi (energy efficiency), seperti penggunaaan energi alternatif, penghematan energi disemua bidang, atau menyuarakan kesadaran atas krisis energi. iii. Sumber daya manusia (human resources) ditujukan terutama untuk karyawan perusahaan atas haknya, seperti pelatihan, gaji yang mencukupi, lingkungan kerja yang sehat dan aman, jaminan kesehatan atau tunjangan lain, serta hubungan yang harmonis antar karyawan di semua jenjang manajemen. iv. Pengembangan masyarakat (community development) Aspek ini yang sering kali menjadi perhatian utama perusahaan sebagai bentuk pelayanan masyarakat, baik dibidang pendidikan, kesehatan, maupun donasi. Namun sayangnya kurang dibarengi dengan pendidikan moral sehingga kemandirian masyarakat kurang terbentuk. v. Produk (product) Perhatian terhadap keamanan dan kualitas produk, terutama produk konsumsi telah mendapat perhatian besar dari masyarakat dunia. Bila perusahaan tidak dapat menjamin kualitas produk maka kegiatan tanggung jawab sosialnya terhadap masyarakat sudah tidak berarti. vi. Kelangsungan hidup (sustainability) menjadi isu yang sangat penting karena mencakup pengertian yang luas dan dalam. Perusahaan harus menunjukkan perhatian dan cara dalam menjaga nilai ekonomi dan sosial nya dalam berusaha memenuhi kepentingan stakeholders-nya. Bagian lingkup CSR ini dapat dibagi secara spesifik lagi sehingga beberapa literatur menggolongkannya menjadi tujuh, hingga delapan. Kesemuanya mempunyai inti yang sama, yaitu kesejahteraan bagi bumi menyangkut semua penghuninya. Bila kesadaran ini ada bahwa kita semua adalah bagian dari bumi ini, maka kegiatan CSR akan menjadi suatu kegiatan yang secara otomatis dilakukan dengan sendirinya. Maka, kesemua lingkup CSR diatas akan lebih mudah dijalankan secara bersama-sama dengan berkesinambungan dan seimbang. 1. Pelaporan Berbagai bentuk laporan yang menggambarkan aktivitas sosial telah diadopsi oleh beberapa perusahaan Indonesia, seperti misalnya environmental report, CSR report, atau sustainability report. Bila tanpa laporan tersendiri, biasanya perusahaan mengungkapkan kegiatan sosial yang dilakukannya dalam laporan tahunan, dalam management discussion section, atau sub judul tersendiri. Kesemuanya mempunyai bentuk dan uraian yang pada dasarnya sama, walau seharusnya menitikberatkan hal yang berbeda, dengan sasaran yang berbeda pula. Ketiadaan acuan yang jelas untuk laporan-laporan ini membuat prakteknya pun menjadi tidak standar. Kemudian, ditambah dengan sulitnya melaporkan aktivitas sosial serta pengukurannya telah menjadikan alasan tersendiri mengapa CSR sulit di buat mandatory. Namun bila ternyata sekarang sudah mandatory, tentunya pengukuran pelaporan ini perlu dipikirkan secara matang. 2. Standar pelaksanaan dan pelaporan Aspek ini menggarisbawahi standar untuk kedua aspek diatas (pelaksanaan dan pelaporan), dimana sekali lagi ditekankan bahwa standar yang jelas untuk ukuran pelaksanaan dan pelaporan perlu menjadi perhatian yang mendalam. 3. Tindak lanjut Bergulirnya suatu program ke program secara berkesinambungan dalam pelaksanaan CSR menjadi kunci keberhasilan dari suatu wujud tanggung jawab sosial perusahaan hingga ada hasil yang dapat dibuktikan. Sayangnya, hal ini belum dapat terwujud secara maksimal. Masih banyak pelaksanaan CSR yang bersifat setempat tanpa mampu berkembang. 4. Evaluasi dan monitoring Tanpa ada standar pelaksanaan dan pelaporan, evaluasi dan monitoring atas kegiatan CSR akan sulit dilakukan. Terlebih dengan diperlukannnya pihak independen sebagai penilai ataupun pemberi arahan untuk kemudian menjadi kajian pemerintah. Disini keberadaan pihak pemerintah yang diwakili oleh suatu badan sangat penting artinya untuk secara serius mengevaluasi pelaksanaan CSR. Aspek ini yang tampaknya masih perlu perjuangan panjang dan cukup berat. Harus mulai dari sekarang, bila memang tuntutan sudah harus dijalankan. Dari semua aspek dan lingkup CSR, kini mulai tampak bila implementasi UU PT pasal 74 ini memerlukan kajian yang harus diperjelas secara menyeluruh. Membedah UU PT pasal 74/2007 Undang-undang Perseroan Terbatas pasal 74 / 2007 yang disahkan DPR telah menandai babak baru pengaturan CSR di negeri ini. Keempat ayat dalam Pasal 74 UU tersebut menetapkan kewajiban bagi semua perusahaan di bidang sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Satu demi satu ayat dalam pasal tersebut akan coba kita cermati. (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Ayat ini disertai dengan penjelasan tentang persero yang berkegiatan di bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam: Yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam” adalah Perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam” adalah Perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Ayat satu ini memerlukan penjelasan lebih lanjut karena definisi tentang perseroan yang dimaksud. Apakah ada perusahaan yang tidak berhubungan atau berkaitan dengan sumber daya alam? Sekalipun perusahaan yang tergolong non-sensitive industri terhadap isu sosial, misalnya perbankan, mereka tetap saja menggunakan sumber daya alam, contohnya kertas. Bahkan mungkin industri di bidang ini menggunakan begitu banyak kertas yang jelas diambil dari bubur kertas yang berasal dari pohon, yang merupakan sumber daya alam. Jadi tidak hanya perusahaan yang secara terang-terangan mengekploitasi sumber daya alam saja, misalnya perusahaan timah, gas, atau tambang, namun semua perusahaan berkaitan dengan penggunaan sumber daya alam. Pertanyaan selanjutnya, lalu apa yang sebenarnya dimaksud dengan perseroan dalam ayat ini? Penafsiran yang luas ini perlu dispesifikasi bila memang ada perusahaan dalam bidang tertentu yang dituju. Namun juga bukan berarti perusahaan yang tidak dituju mendapatkan alasan untuk tidak melakukan CSR, bukan? (2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.Tanpa penjelasan, ayat ini menyiratkan pertanyaan tentang ‘kepatutan’ dan ‘kewajaran’. Dengan kondisi perusahaan yang berbeda-beda, maka kepatutan dan kewajaran masing-masing perusahaan juga akan berbeda. Bagaimana cara mengukur kepatutan dan kepatuhan tersebut? Alangkah baiknya bila ada keterangan lebih lanjut mengenai hal ini. (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat tersebut di jelaskan sebagai berikut: Yang dimaksud dengan “dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah dikenai segala bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait. Sekali lagi, ‘sanksi yang diatur dalam perundang-undangan yang terkait’ yang dimaksudkan disini menimbulkan pertanyaan: undang-undang yang mana? Apakah undang-undang lingkungan hidup atau sosial untuk hal yang berkaitan dengan lingkungan dan sosial? Hendaknya bila merujuk pada UU yang lain, penjelasannya dapat ditulis lebih detil. Lebih jauh, perusahaan yang tidak melakukan CSR akan dikenakan sanksi. Pernyataan ini langsung mengacu pada standar pelaksanaan dan pengukurannya. Apa saja hal yang dapat dikategorikan dalam pelanggaran tersebut? Bagaimana pengukurannya? Bagaimana pelaporannya? Siapa yang berwenang memutuskan sanksi? Siapa yang mengawasi? Banyak hal yang memerlukan jawaban. Seperti sudah didiskusikan diatas, standar pelaksanaan dan pelaporan menjadi acuan pelaksanaan sehingga perlu ada tim independen yang mengukur pelaksanaan tersebut untuk memberikan penilaian apakah memang perusahaan sudah digolongkan melakukan CSR atau belum. Tentunya dengan mengevaluasi antara pelaporan yang diberikan dengan pelaksanaan yang sebenarnya, serta proses hukum itu sendiri, menyangkut aparat dan badan hukum yang menjalankan. Tanpa ukuran standar, evaluasi, pelaporan, dan sanksi yang jelas, maka ayat ini justru akan menimbulkan banyak persoalan baru karena memberikan celah manipulasi. Bukan tidak mungkin, akhirnya hal yang ditakutkan akan terjadi, yaitu makin melebarnya kesempatan melakukan hal-hal yang tidak diingini dan yang terparah adalah kegiatan CSR yang dijadikan kedok dan dipolitisi. Sungguh ironi bila hal ini sampai terjadi karena tujuan pelaksanaan CSR untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi semua pihak, malah akan menguntungkan pihak tertentu. Kemudian, bila akan ada sanksi yang merupakan disincentive dari konsekuensi tidak dilakukannya hal yang diwajibkan, maka perlu juga adanya incentive bagi yang melakukannya. Bila memang biaya CSR dapat dimasukkan dalam biaya operasional perusahaan, maka tentu akan menjadi komponen pengurang pajak. Hal ini bisa digolongkan menjadi insentif, namun lagi-lagi, harus di atur dengan jelas bagaimana pengalokasiannya, bagaimana auditnya, yang berujung kembali pada standar dan pengukuran. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Hendaknya Peraturan pemerintah yang kita nantikan sekarang mampu memberikan arahan yang lengkap, jelas, dan pasti dalam melakukan pasal 74/2007 ini. Jelas bahwa ternyata masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh pemerintah secara serius untuk mengimplementasikan UU ini dengan memperhatikan banyak faktor diatas. Menebak Arah CSR Pendekatan regulasi untuk CSR diharapkan dapat menambah semangat pelaksanaan CSR dengan baik dan benar, serta mampu menegakkan prinsip transparansi dan fairness dalam dunia bisnis. Lebih jauh, perlu dibuktikan bahwa pendekatan hukum harus dapat membawa pengaruh yang baik, misalnya memperbaiki iklim investasi. Pelaksanaan kegiatan CSR dengan kesadaran tulus hendaknya tetap menjadi prioritas utama, sehingga hukum dapat berperan maksimal dalam mengarahkan dan mendisiplinkan kegiatan tersebut. Bukan sebaliknya, hukum justru menghambat kreativitas dan ketulusan dalam melakukan kegiatan CSR. Hal ini yang harus dihindari. Kegiatan CSR tampaknya akan semakin berkembang di masa mendatang, baik dari segi kuantitas dan kualitas. Hal ini terlihat dari survei sekilas yang dilakukan dengan meneliti pengungkapan-pengungkapan yang ada dalam laporan tahunan perusahaan publik Indonesia selama 4 tahun, yaitu dari tahun 2003 hingga 2006. Adanya tren kenaikan pengungkapan mencerminkan kepedulian akan kegiatan CSR yang semakin meningkat. Tanpa mengecilkan arti UU PT ini, kecenderungan akan peningkatan kegiatan CSR akan terus naik, walau tanpa hukum yang mengatur. Bahkan dari bentuk laporannya pun semakin beragam. Tampak bahwa tuntutan masyarakat dan gema CSR memegang peranan yang lebih penting, yang menyebabkan perusahaan-perusahaan makin sadar dan melakukan aktivitas ini, bukan semata karena ada atau tidaknya tuntutan hukum. Hal ini dapat dilihat dengan tanggapan yang luar biasa negara-negara dunia atas kesadaran ancaman global warming and climate change yang diserukan oleh PBB baru-baru ini. Berbagai tindakan dilakukan untuk mencegah perluasan pemanasan global yang sudah membutuhkan perhatian yang sangat serius. Menanggapi hal ini, Indonesia juga tak kalah aksi dengan menabuh genderang kampanye untuk menanam 10 juta pohon di berbagai daerah di Indoensia yang langsung dipimpin oleh Ibu Negara. Sebuah aksi terpuji, wujud peduli. Mencoba menebak arah CSR pasca UU PT tampaknya tidak akan jauh berbeda dalam lima tahun ke depan dengan apa yang sudah dijalankan sekarang, dalam pengertian masih berfokus pada masalah sosial, yakni kemiskinan dan pendidikan. Pelayanan untuk komunitas sekitar perusahaan juga tetap akan menjadi yang utama. Kegiatan CSR akan berkembang seiring dengan isu ekonomi, juga situasi yang terjadi, yang terkait erat dengan peran pemerintah. Hal ini sama dengan praktek yang dijalani oleh kebanyakan negara berkembang. Seperti yang sudah diungkapkan, kualitas dan kuantitasnya akan menunjukkan tren peningkatan walau lakon-lakonnya masih akan didominasi oleh perusahaan-perusahaan multi nasional sebagai pionir. Kemungkinan terbaginya perusahaan-perusahaan juga bisa diprediksi, yakni perusahaan dengan skala besar, menengah, dan kecil, misalnya, akan melakukan jumlah dan progres kualitas kegiatan CSR yang berbeda-beda. Banyaknya variabel yang mempengaruhi pelaksanaan CSR (misalnya ukuran perusahaan, komitmen manajemen, status perusahaan, komposisi kepemilikan, reputasi, atau tekanan eksternal) dalam lima tahun ke depan agaknya mulai menunjukkan gambar yang lebih nyata. Perusahaan, seperti pada umumnya, juga akan tetap memperhitungkan kegiatan CSR dengan komposisi cost dan benefit yang ditimbulkannya. Seperti halnya dengan biaya marketing yang dapat ditentukan jumlahnya, namun sulit pengukuran benefitnya (misalnya iklan), biaya dan benefit pelaksanaan CSR juga demikian. Untuk mencoba melihat respon, dapat dilakukan, misalnya dengan kuesioner yang ditujukan pada komunitas perusahaan sekitar untuk melihat respon atas beberapa kegiatan yang dilakukan. Atau, dalam lingkup yang lebih kecil setelah melakukan kegiatan CSR yang cukup berarti, perhitungan penjualan produk dapat dicermati. Uji coba sederhana telah dilakukan dalam satu kunjungan ke wilayah tertentu yang selalu memakai produk merek A sebagai pasta gigi. Dengan kegiatan pembersihan lingkungan dan penyuluhan pentingnya kesehatan gigi sebagai wujud CSR yang dilakukan oleh sebuah perusahaan yang memproduksi produk merek B (produk yang sama), dalam waktu 3 bulan, penjualan produk merek B di wilayah ini meningkat tajam. Lalu, apakah CSR menjadi alat marketing? Tentu hal ini tidak dapat dipungkiri sebagai suatu akibat yang positif, namun ini bukanlah tujuan CSR. Perlu diingat kegiatan CSR jelas akan memberikan dampak pada peningkatan image perusahaan, bahkan penjualan, tapi jangan coba-coba membuat CSR sebagai alat marketing, karena hasilnya jelas akan berbeda. Prioritas utama harus kembali pada pengertian CSR yang benar, karena bila memang hal ini dilakukan dengan benar pula, toh perusahaan sendiri yang akan mendapat dampak positifnya, serta mutual benefits dapat terjaga. Kini, pelaksanaan CSR di Indonesia sudah menjadi mandatory untuk perusahaan-perusahaan ’tertentu’. Berbagai studi menunjukkan keberhasilan pelaksanaan CSR terkait dengan kerjasama perusahaan, masyarakat, dan pemerintah. Ketiga peran tersebut harus sinergi dan membutuhkan kepastian hukum. “Developing countries, actually have most of the necessary rules to support CSR, but often do not enforce them“ . Hal ini dikatakan oleh Thomas R Vant, sekretaris jendral, Business and Industry Advisory Committee OECD (the Organisation for Economic Co-operation and Development), dalam artikel di Financial Times, terbitan UK. Kini memang peran baik pemerintah sungguh diharapkan dengan memberikan aturan main yang jelas dan legal enforcement yang adil. Untuk perusahaan, disarankan bahwa adanya hukum CSR ini dapat menjadikan pelaksanaan CSR semakin mantap: beyond the law, to see the ’ideal’ pratice of CSR, not merely following the rules. Penulis adalah PhD cand. on CSR, Edith Cowan University, Perth-Western Australia

Monday, March 22, 2010

PERMASALAHAN CSR BPD DAN SOLUSINYA !

Akhir-akhir ini CSR atau disebut tanggung jawab sosial perusahaan mulai dingin dan tidak memiliki gaung yang kuat karena pemberitaan mengenai perlunya CSR di Indonesia hanya dilihat sebelah mata saja pada hal sesuai Pasal 74 UU No.40/2007 mewajibkan setiap perusahaan PT wajib hukumnya menjalankan CSR. Untuk menjawab hal tersebut dan banyak pertanyaan yang sering masuk dalam bloger ini maka saya kerkewajiban untuk menjawabnya dalam tulisan wawancara dibawah ini, selamat membaca.

1. Apa itu Corporate Social Responsibility (CSR) dan sejarahnya?

Banyak definisi tentang CSR, tetapi yang sederhana adalah bagaimana perhatian suatu perusahaan terhadap kualitas hidup stakeholders (khususnya masyarakat setempat). Kalau mengenai sejarah CSR, bermula dari pendapat Milton Friedman bahwa perusahaan itu hanya mencari profit (The business of business is business), namun karena tuntutan dan tekanan masyarakat terutama pengamat sosial bahwa ada “mounting public anxiety about the growth of corporate power and potential for coporate misconduct”, maka lahirlah paradigma baru perusahaan yakni triple botom line (3 P); perusahaan selain (P)rofit juga wajib memperhatikan sosial kemasyarakatan /(P)eople dan lingkungan /(P)lanet.

2. Apakah CSR itu wajib dijalankan perusahaan ?

Seperti tadi sudah saya katakan, pada dasarnya tujuan utama dari pendirian perusahaan adalah mencari profit, tetapi, dalam menjalankan perusahaan, harus juga menaati semua peraturan hukum yang berlaku, menjalankan sesuai etika moral yang berlaku dan memperhatikan lingkungan. Inilah yang disebut tanggung jawab legal, ekonomi, etis dan tanggung jawab lingkungan, yang saling menopang tidak bisa berdiri sendiri- sendiri.

CSR adalah kegiatan sukarela. Tetapi, perkembangan global akibat tekanan internal maupun eksternal saat ini menuntut CSR menjadi suatu kewajiban yang tidak bisa ditolak. Suka atau tidak suka, harus dijalankan sebagai bentuk tanggungjawab kepada stakeholders.

3. Kami membaca tesis anda menarik sekali, tentang praktik CSR di salah satu BPD, apa sebenarnya inti permasalahan yang anda teliti dan kira-kira solusinya bagaimana ?

Ceritanya panjang, akan tetapi dapat saya sampaikan bahwa masih sangat kurang penelitian tentang CSR BPD, masalahnya karena CSR di BPD ibarat suatu jenis tanaman baru apakah berakar tunggal atau berakar serabut, atau suatu jenis binatang baru, apakah merayap atau melata dan seterusnya.

Ok, kita masuk dalam inti persoalan. Hasil penelitian menujukan bahwa praktik CSR di BPD baru dalam tahap pertama disebut corporate charity. berupa dorongan amal berdasarkan motivasi keagamaan atau tradisi setempat. Seperti Santha Claus membagi hadiah saat perayaan natal atau membagi sedekah saat idhul kurban, membagi angpao saat perayaan Imlek, memberi beras, susu, saat bencana alam atau musibah seperti busung lapar. Jadi misinya hanya mengatasi masalah sesaat sehingga pengeloaannya hanya berjangka pendek dan parsial, sifatnya sukarela (voluntary) dan tidak terencana / terprogram.

4. Jadi CSR yang baik itu seperti apa ?

Ada tahap kedua yakni corporate philantrophy berupa dorongan kemanusiaan yang biasanya bersumber dari norma dan etika universal untuk menolong sesama dan memperjuangkan pemerataan sosial, tetapi yang baik adalah tahap ketiga corporate citizenship yakni motivasi kemasyarakatan demi mewujudkan keadilan sosial berdasarkan prinsip keterlibatan sosial. Jadi tahap ketiga sikapnya memberdayakan manusia.

5. Maksud dari pemberdayaan masyarakat itu Community Development ?

Ya, betul.. Comdev itu artinya perusahaan memberikan kontribusi kepada masyarakat setempat (stakeholders) secara nyata dan tertuang dalam suatu komitmen dan kebijakan perusahaan, keterlibatan sosial baik dana maupun daya dalam bentuk hibah sosial dan atau hibah pembangunan.

6. Bentuk keterlibatan social itu seperti apa ?

Cara Pertama, bisa terlibat langsung artinya menyelenggarakan CSR sendiri dengan menyiapkan seorang pejabat senior seperti corporate secretary atau public affair manager atau menjadi bagian dari tugas pejabat public relation. Cara Kedua, melalui atau membentuk yayasan atau organisasi sosial perusahaan. Biasanya perusahaan menyediakan dana awal, dana rutin atau dana abadi yang dapat digunakan secara teratur bagi kegiatan yayasan. Cara ketiga, bermitra dengan lembaga sosial atau LSM baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya, dan Cara Keempat, adalah Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium. Pola ini lebih berorientasi pada pemberian hibah perusahaan yang bersifat “hibah pembangunan”. Pihak konsorsium atau lembaga semacam itu yang dipercayai oleh perusahaan - perusahaan yang mendukung secara pro aktif mencari mitra kerjasama dari kalangan lembaga operasional dan kemudian mengembangkan program yang disepakati bersama. Dari keempat cara ini mana yang cocok itu semuanya berpulang dari perusahaan masing-masing !

7. Menurut Anda kalau di BPD bentuk keterlibatan sosial yang tepat itu apa ?

Menggunakan cara keempat yakni dalam wadah BPD-SI, kita buat semacam konsorsium / forum peduli sosial (Forum Multi Stakehoders) yang beranggotakan seluruh BPD-SI, melibatkan unsur masyarakat / LSM dan pemerintah Pusat serta Pemda setempat.

8. Ide Anda baru dan rasanya berat untuk dilaksanakan karena tiap BPD memiliki karakteristik yang berbeda?

Ide ini bukan baru sudah lama dipraktekan, contoh saja Kabupaten Kutai Timur Kaltim oleh mantan Bupati dan sekarang Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak sudah jalan, beliau membentuk Forum Multi Stakehoders (FMS) yang kelembagaannnya terdiri dari Dewan Pengarah FMS dan badan pelaksana FMS terdiri dari beberapa perusahaan di Kutai Timur, masyarakat/LSM dan pemerintah. Nah.. kalau seluruh BPD memiliki komitmen yang sama, bersatu membentuk forum tersebut, saya yakin kekuatan BPD sebagai agen development untuk menaikan kualitas hidup masyarakat dapat terwujud.

9. Selanjutnya menyangkut teknis merancang program CSR, dari mana kita mesti memulai? Kemampuan perusahaan atau kebutuhan masyarakat?

Program CSR sebaiknya dirancang berangkat dari apa yang paling dibutuhkan masyarakat, karena harus memberi dampak positif kepada masyarakat. Tidak ada guna jika rancangan program mengikuti keinginan perusahaan, artinya perusahaan mestinya melakukan assesment secara internal untuk menilai kapasitas organisasinya, sehingga dengan demikian, program CSR tidak mengganggu aktivitas utama sebagai entitas bisnis.

10. Tehnik asessment internal yang bagaimana ?

Jadi pertama, lakukan penilaian dan identifikasi masalah; contohnya melihat kemiskinan masyarakat setempat, cari inti permasalahan mengapa sampai mereka miskin, apa sebab miskin?, karena; tidak ada pekerjaan / pengangguran, tidak memiliki ketrampilan, budaya tidak mendukung, dan seterusnya.

11. Terus setelah teknik asessment, tindakan selanjutnya ?

Harus ditentukan perusahaan ikut terlibat disemua persoalan atau memilih satu bidang persoalan?. Artinya semua persoalan itu penting, tetapi harus menghitung berapa sumberdaya yang dimiliki perusahaan?. Jadi lebih fokus pada bidang tertentu agar memiliki dampak yang signifikan. Misalnya, perusahaan ingin melakukan CSR untuk meningkatkan kualitas pelajar agar dapat diterima di lembaga perbankan. Sebaiknya dipertajam fokus tersebut dengan memilih siswa di level manakah yang hendak menjadi sasaran.

12. Selanjutnya, bagaimana menentukan prioritas program?

Seperti tadi, selanjutnya perusahaan harus melakukan need assessment terhadap lingkungan masyarakat setempat. Yang pertama, harus mencari apa yang paling dibutuhkan masyarakat setempat? Caranya perusahaan harus berdialog dengan masyarakat setempat. Bisa juga mengajak LSM setempat untuk menggali kebutuhan dan persoalan yang kerap terjadi. Cara kedua, membuat maping, agar program CSR yang dibuat tidak tumpang tindih dengan program lainnya.

13. Apakah CSR harus butuh dana yang besar ?

Sebenarnya tidak. CSR bukan saja melulu duit. Tidak apa-apa kalau perusahaan menyiapkan dalam setahun penyisihan labanya atau rekening CSRnya minim sesuai kemampuan perusahaan. Yang utama adalah apakah penyaluran dana tersebut tepat sasaran atau tidak dibandingkan dana yang besar tetapi tanpa perencanaan. Perusahaan bisa menyiapkan daya berupa tenaga karyawan untuk kerja bakti sosial atau mengajar. Jadi, tak ada alasan perusahaan tidak melaksanakan praktik CSR.

14. Pertanyaan berikutnya, bagaimana seandainya perusahaan menolak keras untuk tidak menerapkan praktik CSR ?

Jawabannya mudah, siapa menabur angin menuai badai. Artinya tidak bermaksud menakut-nakuti, jika perusahaan tidak melaksanakan program CSR bersiap-siaplah menerima risiko reputasi berupa penolakan kehadiran perusahaan dan aksi protes, karena masyarakat kita sudah mengerti dan memahami kontribusi suatu perusahaan.

15. Yang terakhir, apa tolok ukur keberhasilan program CSR?

Sederhana saja, tolok ukur keberhasilan dapat dilihat dari dua segi yakni perusahaan dan masyarakat. Dari segi perusahaan, reputasinya bertambah cemerlang dimata masyarakat, dan dari segi masyarakat terjadi peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat. Yang terukur dari apakah masyarakat tersebut bisa mandiri, tidak melulu bergantung pada pertolongan pihak lain.

*****

PERLUKAH CSR DI BPD ?

CSR DAN PERUSAHAAN :

Tuntutan globalisasi mewajibkan perusahaan harus kompetitif dan sustainable, dimana persaingan antar perusahaan semakin ketat. Untuk menciptakan perusahaan yang kompetitif, maka perusahaan perlu didukung oleh aspek-aspek internal perusahaan (misalnya kinerja keuangan, SDM, dan teknologi) yang handal dan aspek eksternal perusahaan (misalnya pasar, customer base, relasi, lingkungan dan regulasi pemerintah). Salah satu hal yang berpengaruh terhadap kelangsungan sebuah perusahaan namun belum mendapat perhatian serius dari pihak perusahaan (pengurus dan pemegang saham) adalah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan / Corporate Social Responsibiliy (selanjutnya disebut CSR).

Menurut The World Business Council for Sustainable Development (WBCSR) in fox, et al (2002), definisi CSR atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan adalah :

“komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komuniti-komuniti setempat (lokal) dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan”.

Jadi dengan demikian CSR pada dasarnya memiliki keinginan yang sama yakni menjalankan bisnis dengan lebih bermartabat, dengan konsekuensi akan mengurangi profit. Pengusaha seharusnya menjalankan bisnis tidak semata untuk profitability melainkan lebih dari itu, sustainability. Kesadaran menjalankan bisnis bukan sekedar mencari profit semata, yang masih minim dimiliki oleh sebagian pelaku bisnis di Indonesia, namun faktor kesinambungan tersebutlah yang sangat menentukan masa depan sebuah usaha.

Sebagai contoh dari persoalan diatas, jika Anda seorang pengelola usaha, maka Anda punya pilihan untuk mendapatkan keuntungan antara 35 % sampai dengan minimal 10%. Agar mendapatkan keuntungan 35 %, Anda harus rajin melobi para pejabat, menjilat para atasan, mengelabui mitra usaha, dan mengesampingkan social responsibilty, tetapi risikonya bisnis Anda paling tidak hanya mampu bertahan selama 5 tahun, karena banyaknya masalah yang timbul dari praktik usaha semacam itu.

Namun, jika Anda memilih keuntungan yang lebih sedikit, 10% tetapi dengan memperhatikan etika bisnis serta mempunyai social responsibility yang besar, bisnis Anda jelas akan dapat berjalan dengan baik.

Pernyataan diatas diperkuat dengan hasil penelitian terbaru dari Hill, Ronald et.al (2007:)[1] yang melakukan penelitian terhadap beberapa perusahaan di Amerika Serikat, Eropa dan Asia yang melaksanakan praktek CSR lalu menghubungkan dengan value perusahaan, diukur dari nilai saham perusahaan-perusahaan tersebut. Penelitian tersebut menemukan bahwa setelah mengontrol variabel-variabel lainnya, perusahaan yang mempraktekan CSR pada jangka pendek (3-5 tahun) tidak mengalami kenaikan nilai saham yang siginifikan, namun dalam jangka panjang (10 tahun), perusahaan yang berkomitmen terhadap CSR tersebut, mengalami kenaikan nilai saham yang sangat signifikan dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang tidak melaksanakan praktek CSR.

Dari penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa CSR dalam jangka pendek memang tidak memberikan value yang memadai bagi pemegang saham, karena biaya CSR, malahan mengurangi keuntungan yang bisa dicapai perusahaan.Namun demikian, dalam jangka panjang, perusahaan yang memiliki komitmen terhadap CSR, ternyata kinerjanya melampaui perusahaan –perusahaan yang tidak memiliki komitmen terhadap CSR, atau dengan kata lain CSR dapat menciptakan value bagi perusahaan, terutama dalam jangka waktu yang panjang.

Peluang untuk hidup dan berkompetisi dalam jangka panjang pun akan lebih terjamin, karena masyarakat kita bukanlah masyarakat yg masih dapat dibodohi oleh sisi eksternal perusahaan, masyarakat sekarang lebih kritis dan peka terhadap kinerja dan kontribusi perusahaan terhadap dunia luar.

Selanjutnya kondisi sekarang di Indonesia Pada dekade terakhir kerapkali terjadi kecelakaan, musibah dan penipuan yang disebabkan oleh kalangan perusahaan, sehingga menimbulkan stigma negatif perusahaan di kalangan masyarakat (stakeholders) seperti pada kasus pencemaran di Teluk Buyat oleh perusahaan Newmont Minahasa, masalah pembakaran hutan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit di Sumatra dan Kalimantan, masalah pemberdayaan masyarakat suku di wilayah pertambangan Freeport Papua, masalah semburan lumpur panas Lapindo di Surabaya dan terakhir yang heboh adalah kasus Bank Century yang hingga kini masih triliunan rupiah dana nasabah tidak dapat dipertanggungjawabkan, ini merupakan contoh terburuk dari praktik bisnis yang tidak bertanggung jawab.

Memang hal ini lebih dikarenakan faktor teknis dan human error- yang telah menjadi “pemicu” untuk kembali menyerukan tanggung jawab kalangan perusahaan terhadap lingkungan sekitarnya. Sehingga menjadi alasan perlunya kesadaran terhadap Corporate Social Responsibility demi tercapainya sebuah keseimbangan dunia usaha antara pelaku dan masyarakat sekitar (Local community).

Semenjak keruntuhan rezim Orde Baru, masyarakat semakin berani berinspirasi dan mengekspresikan tuntutan terhadap perkembangan dunia bisnis Indonesia. Masyarakat telah semakin kritis dan mampu melakukan filterisasi terhadap dunia usaha yang berkembang di tengah masyarakat. Hal ini menuntut para pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya dengan semakin bertanggungjawab. Pelaku bisnis tidak hanya dituntut untuk memperoleh capital gain (profit) dari lapangan usahanya, melainkan mereka juga diminta untuk memberikan kontribusi baik materiil maupun imateriil kepada masyarakat dan pemerintah.

CSR yang seharusnya telah terintegrasi dalam hierarki perusahaan sebagai strategi dan policy manejemennya, tetap masih dipandang sebelah mata oleh kebanyakan pelaku bisnis di Indonesia. Esensi dan signifikansi dari CSR masih belum dapat terbaca sepenuhnya oleh pelaku bisnis, sehingga CSR sendiri baru sekedar wacana dan implementasi atas tuntutan masyarakat. Hal ini otomatis akan mengurangi implementasi dari CSR itu sendiri.

Masalahnya semakin rumit ketika tetap saja para pelaku dan investor berpijak pada stereotipe bahwa CSR tidak profitable, tidak berdampak langsung terhadap peningkatan pendapatan perusahaan. Mereka cenderung ingin yang instan, langsung mendapat profit besar, tanpa peduli terhadap masalah-masalah eksternal perusahaan. Selain itu, investor juga terlalu menginginkan realisasi investasi mereka untuk sektor riil dalam artian benar-benar berdampak langsung terhadap peningkatan pendapatan. Padahal, CSR memiliki dimensi yang jauh lebih rumit dan kompleks dari sekedar analisis laba-rugi.

Pengenalan terhadap budaya setempat atau analisis terhadap need assesment semestinya menjadi hal krusial yang mesti dilakukan. Poin diatas inilah yang terkadang menyebabkan konflik kepentingan, sehingga dunia usaha terkadang merasa program CSR bukanlah kompetisi mereka. Paradigma mengenai kontribusi pajak perusahaan terhadap negara semakin menambah runyam. Ada beberapa kalangan yang menilai jika masalah sosial hanya merupakan tanggungjawab negara saja, dunia usaha cukup membayar pajak untuk memberikan kontribusi terhadap masyarakat.

Pemikiran ini sudah tidak relevan, justru perusahaan yang akan memenangkan kompetisi global adalah perusahaan yang memiliki kemampuan public relation yang baik, salah satunya dapat dicapai dengan mencanangkan program CSR yang terintegrasi sebagai standar kebijakan dan strategi bisnis mereka. Lagipula, dengan adanya anggapan bahwa dunia usaha merupakan bagian yang terintegrasi dalam masyarakat, sudah sepatutnya jika dunia usaha berkewajiban untuk membantu menyelesaikan masalah sosial yang ada dalam kehidupan bermasyarakat.

Selain itu, semestinya dunia usaha tidak mengganggap CSR sebagai kewajiban yang memaksa, sebagai refleksi dari tuntutan masyarakat terhadap dunia usaha. Jika perusahaan masih mempertahanakan paradigma lamanya maka cepat atau lambat, benih irihati, ketidak puasan, kemarahan masyarakat (stakeholders) akan berdampak adanya anarkisme, vandalisme, maupun bentuk-bentuk kegiatan represif dari masyarakat lainnya akan berbuntut panjang pada penolakan kehadiran perusahaan dan aksi protes kalangan masyarakat karena tidak memberikan kotribusi yang nyata.

CSR DAN PERBANKAN

Terlepas dari hal diatas, bisnis perbankanpun (baca lembaga perbankan) tidak luput dari tanggung jawab sosial yang harus diemban, karena lembaga ini merupakan lembaga kepercayaan, sehingga dalam menjalankan fungsi perbankan wajib memperhatikan kepentingan nasabah dan kepentingan masyarakat (stakeholders). Apabila diabaikan maka cepat atau lambat bisnis perbankan bisa terpuruk.

Jadi dengan kata lain lembaga perbankan tidak saja memiliki tanggung jawab ekonomi moneter menerapkan prinsip kehati-hatian Bank (Prudential Bank), sebagai lembaga intermediasi untuk menerima dan menyalurkan kembali dana masyarakat, di luar itu juga ada tanggung jawab etis, sosial dan tanggung jawab discretionary, yaitu tanggung jawab yang semestinya tidak harus dilakukan tapi dilakukan atas kemauan sendiri.

Sebagai contoh Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia, sesuai Undang-Undang Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2004, Bank Indonesia diwajibkan untuk dapat mencapai dan memelihara kestabilan nilai tukar rupiah. Untuk mencapai tujuan Bank Indonesia tersebut, terdapat tiga pilar utama yang menjadi tugas Bank Indonesia yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan mengatur dan mengawasai bank. Selain dituntut untuk dapat melaksanakan tugas-tugas utamanya tersebut, Bank Indonesia juga diminta untuk tetap memiliki kepedulian terhadap lingkungan (komunitas) sebagai wujud corporate social responsibility.

CSR BPD

Disamping itu bank umum seperti BPD selain merupakan lembaga kepercayaan, juga merupakan lembaga pendukung pembangunan daerah, karena secara filosofi BPD didirikan dengan peran sebagai alat penggerak perekonomian daerah dalam menopang pembangunan infrastruktur, UMKM dan turut memikirkan kondisi sosial masyarakat lokal yang semakin marginal (baca semakin miskin) serta menjalankan fungsi intermediasi daerah (development bank).

Menurut Badan Pusat Statistik, Jumlah penduduk miskin (dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada tahun 2008 yakni 34,96 juta jiwa (15,4%), sedangkan jumlah pengangguran pada tahun 2008 sebanyak 9,43 jiwa (8,46%).

Memperhatikan kesenjangan yang semakin besar tersebut, muncul berbagai reaksi untuk memperbaikinya, antara lain program stimulus fiskal seperti perbaikan kesejahteraan, bantuan langsung tunai (BLT), beras rakyat miskin (RASKIN) dan sebagainya yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kenyataan menunjukkan bahwa upaya-upaya mengentaskan kemiskinan sering tidak membawa hasil, karena pemerintah tidak memiliki daya dan dana yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar tersebut.

Dengan memperhatikan kondisi tersebut sudah saatnya BPD seluruh Indonesia wajib menjadikan CSR sebagai “roh” untuk memberi nilai tambah kepada masyarakat setempat (stakeholders). Jika BPD masih mempertahankan paradigma lamanya maka siap-siaplah menerima risiko reputasi dan risiko hukum dikemudian hari.

Berangkat dari pemahaman diatas, dapat ditarik benang merah bahwa BPD wajib melaksanakan CSR dalam usahanya agar tercapai keseimbangan dan kesejahteraan masyarakat lokal, semoga...

[1] Hill, Ronald, Thomas Ainscough, Todd Shank and Dary Manullang, Corporate Social Responsibility and socially Responsible Investing : A Global Prespektive, Journal of Business Ethick; Januari 2007, Volume 70 Issue 2, p165-174.

Jam