Game Dragon hills mod apk

Game yang keren

Monday, March 22, 2010

PERMASALAHAN CSR BPD DAN SOLUSINYA !

Akhir-akhir ini CSR atau disebut tanggung jawab sosial perusahaan mulai dingin dan tidak memiliki gaung yang kuat karena pemberitaan mengenai perlunya CSR di Indonesia hanya dilihat sebelah mata saja pada hal sesuai Pasal 74 UU No.40/2007 mewajibkan setiap perusahaan PT wajib hukumnya menjalankan CSR. Untuk menjawab hal tersebut dan banyak pertanyaan yang sering masuk dalam bloger ini maka saya kerkewajiban untuk menjawabnya dalam tulisan wawancara dibawah ini, selamat membaca.

1. Apa itu Corporate Social Responsibility (CSR) dan sejarahnya?

Banyak definisi tentang CSR, tetapi yang sederhana adalah bagaimana perhatian suatu perusahaan terhadap kualitas hidup stakeholders (khususnya masyarakat setempat). Kalau mengenai sejarah CSR, bermula dari pendapat Milton Friedman bahwa perusahaan itu hanya mencari profit (The business of business is business), namun karena tuntutan dan tekanan masyarakat terutama pengamat sosial bahwa ada “mounting public anxiety about the growth of corporate power and potential for coporate misconduct”, maka lahirlah paradigma baru perusahaan yakni triple botom line (3 P); perusahaan selain (P)rofit juga wajib memperhatikan sosial kemasyarakatan /(P)eople dan lingkungan /(P)lanet.

2. Apakah CSR itu wajib dijalankan perusahaan ?

Seperti tadi sudah saya katakan, pada dasarnya tujuan utama dari pendirian perusahaan adalah mencari profit, tetapi, dalam menjalankan perusahaan, harus juga menaati semua peraturan hukum yang berlaku, menjalankan sesuai etika moral yang berlaku dan memperhatikan lingkungan. Inilah yang disebut tanggung jawab legal, ekonomi, etis dan tanggung jawab lingkungan, yang saling menopang tidak bisa berdiri sendiri- sendiri.

CSR adalah kegiatan sukarela. Tetapi, perkembangan global akibat tekanan internal maupun eksternal saat ini menuntut CSR menjadi suatu kewajiban yang tidak bisa ditolak. Suka atau tidak suka, harus dijalankan sebagai bentuk tanggungjawab kepada stakeholders.

3. Kami membaca tesis anda menarik sekali, tentang praktik CSR di salah satu BPD, apa sebenarnya inti permasalahan yang anda teliti dan kira-kira solusinya bagaimana ?

Ceritanya panjang, akan tetapi dapat saya sampaikan bahwa masih sangat kurang penelitian tentang CSR BPD, masalahnya karena CSR di BPD ibarat suatu jenis tanaman baru apakah berakar tunggal atau berakar serabut, atau suatu jenis binatang baru, apakah merayap atau melata dan seterusnya.

Ok, kita masuk dalam inti persoalan. Hasil penelitian menujukan bahwa praktik CSR di BPD baru dalam tahap pertama disebut corporate charity. berupa dorongan amal berdasarkan motivasi keagamaan atau tradisi setempat. Seperti Santha Claus membagi hadiah saat perayaan natal atau membagi sedekah saat idhul kurban, membagi angpao saat perayaan Imlek, memberi beras, susu, saat bencana alam atau musibah seperti busung lapar. Jadi misinya hanya mengatasi masalah sesaat sehingga pengeloaannya hanya berjangka pendek dan parsial, sifatnya sukarela (voluntary) dan tidak terencana / terprogram.

4. Jadi CSR yang baik itu seperti apa ?

Ada tahap kedua yakni corporate philantrophy berupa dorongan kemanusiaan yang biasanya bersumber dari norma dan etika universal untuk menolong sesama dan memperjuangkan pemerataan sosial, tetapi yang baik adalah tahap ketiga corporate citizenship yakni motivasi kemasyarakatan demi mewujudkan keadilan sosial berdasarkan prinsip keterlibatan sosial. Jadi tahap ketiga sikapnya memberdayakan manusia.

5. Maksud dari pemberdayaan masyarakat itu Community Development ?

Ya, betul.. Comdev itu artinya perusahaan memberikan kontribusi kepada masyarakat setempat (stakeholders) secara nyata dan tertuang dalam suatu komitmen dan kebijakan perusahaan, keterlibatan sosial baik dana maupun daya dalam bentuk hibah sosial dan atau hibah pembangunan.

6. Bentuk keterlibatan social itu seperti apa ?

Cara Pertama, bisa terlibat langsung artinya menyelenggarakan CSR sendiri dengan menyiapkan seorang pejabat senior seperti corporate secretary atau public affair manager atau menjadi bagian dari tugas pejabat public relation. Cara Kedua, melalui atau membentuk yayasan atau organisasi sosial perusahaan. Biasanya perusahaan menyediakan dana awal, dana rutin atau dana abadi yang dapat digunakan secara teratur bagi kegiatan yayasan. Cara ketiga, bermitra dengan lembaga sosial atau LSM baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya, dan Cara Keempat, adalah Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium. Pola ini lebih berorientasi pada pemberian hibah perusahaan yang bersifat “hibah pembangunan”. Pihak konsorsium atau lembaga semacam itu yang dipercayai oleh perusahaan - perusahaan yang mendukung secara pro aktif mencari mitra kerjasama dari kalangan lembaga operasional dan kemudian mengembangkan program yang disepakati bersama. Dari keempat cara ini mana yang cocok itu semuanya berpulang dari perusahaan masing-masing !

7. Menurut Anda kalau di BPD bentuk keterlibatan sosial yang tepat itu apa ?

Menggunakan cara keempat yakni dalam wadah BPD-SI, kita buat semacam konsorsium / forum peduli sosial (Forum Multi Stakehoders) yang beranggotakan seluruh BPD-SI, melibatkan unsur masyarakat / LSM dan pemerintah Pusat serta Pemda setempat.

8. Ide Anda baru dan rasanya berat untuk dilaksanakan karena tiap BPD memiliki karakteristik yang berbeda?

Ide ini bukan baru sudah lama dipraktekan, contoh saja Kabupaten Kutai Timur Kaltim oleh mantan Bupati dan sekarang Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak sudah jalan, beliau membentuk Forum Multi Stakehoders (FMS) yang kelembagaannnya terdiri dari Dewan Pengarah FMS dan badan pelaksana FMS terdiri dari beberapa perusahaan di Kutai Timur, masyarakat/LSM dan pemerintah. Nah.. kalau seluruh BPD memiliki komitmen yang sama, bersatu membentuk forum tersebut, saya yakin kekuatan BPD sebagai agen development untuk menaikan kualitas hidup masyarakat dapat terwujud.

9. Selanjutnya menyangkut teknis merancang program CSR, dari mana kita mesti memulai? Kemampuan perusahaan atau kebutuhan masyarakat?

Program CSR sebaiknya dirancang berangkat dari apa yang paling dibutuhkan masyarakat, karena harus memberi dampak positif kepada masyarakat. Tidak ada guna jika rancangan program mengikuti keinginan perusahaan, artinya perusahaan mestinya melakukan assesment secara internal untuk menilai kapasitas organisasinya, sehingga dengan demikian, program CSR tidak mengganggu aktivitas utama sebagai entitas bisnis.

10. Tehnik asessment internal yang bagaimana ?

Jadi pertama, lakukan penilaian dan identifikasi masalah; contohnya melihat kemiskinan masyarakat setempat, cari inti permasalahan mengapa sampai mereka miskin, apa sebab miskin?, karena; tidak ada pekerjaan / pengangguran, tidak memiliki ketrampilan, budaya tidak mendukung, dan seterusnya.

11. Terus setelah teknik asessment, tindakan selanjutnya ?

Harus ditentukan perusahaan ikut terlibat disemua persoalan atau memilih satu bidang persoalan?. Artinya semua persoalan itu penting, tetapi harus menghitung berapa sumberdaya yang dimiliki perusahaan?. Jadi lebih fokus pada bidang tertentu agar memiliki dampak yang signifikan. Misalnya, perusahaan ingin melakukan CSR untuk meningkatkan kualitas pelajar agar dapat diterima di lembaga perbankan. Sebaiknya dipertajam fokus tersebut dengan memilih siswa di level manakah yang hendak menjadi sasaran.

12. Selanjutnya, bagaimana menentukan prioritas program?

Seperti tadi, selanjutnya perusahaan harus melakukan need assessment terhadap lingkungan masyarakat setempat. Yang pertama, harus mencari apa yang paling dibutuhkan masyarakat setempat? Caranya perusahaan harus berdialog dengan masyarakat setempat. Bisa juga mengajak LSM setempat untuk menggali kebutuhan dan persoalan yang kerap terjadi. Cara kedua, membuat maping, agar program CSR yang dibuat tidak tumpang tindih dengan program lainnya.

13. Apakah CSR harus butuh dana yang besar ?

Sebenarnya tidak. CSR bukan saja melulu duit. Tidak apa-apa kalau perusahaan menyiapkan dalam setahun penyisihan labanya atau rekening CSRnya minim sesuai kemampuan perusahaan. Yang utama adalah apakah penyaluran dana tersebut tepat sasaran atau tidak dibandingkan dana yang besar tetapi tanpa perencanaan. Perusahaan bisa menyiapkan daya berupa tenaga karyawan untuk kerja bakti sosial atau mengajar. Jadi, tak ada alasan perusahaan tidak melaksanakan praktik CSR.

14. Pertanyaan berikutnya, bagaimana seandainya perusahaan menolak keras untuk tidak menerapkan praktik CSR ?

Jawabannya mudah, siapa menabur angin menuai badai. Artinya tidak bermaksud menakut-nakuti, jika perusahaan tidak melaksanakan program CSR bersiap-siaplah menerima risiko reputasi berupa penolakan kehadiran perusahaan dan aksi protes, karena masyarakat kita sudah mengerti dan memahami kontribusi suatu perusahaan.

15. Yang terakhir, apa tolok ukur keberhasilan program CSR?

Sederhana saja, tolok ukur keberhasilan dapat dilihat dari dua segi yakni perusahaan dan masyarakat. Dari segi perusahaan, reputasinya bertambah cemerlang dimata masyarakat, dan dari segi masyarakat terjadi peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat. Yang terukur dari apakah masyarakat tersebut bisa mandiri, tidak melulu bergantung pada pertolongan pihak lain.

*****

PERLUKAH CSR DI BPD ?

CSR DAN PERUSAHAAN :

Tuntutan globalisasi mewajibkan perusahaan harus kompetitif dan sustainable, dimana persaingan antar perusahaan semakin ketat. Untuk menciptakan perusahaan yang kompetitif, maka perusahaan perlu didukung oleh aspek-aspek internal perusahaan (misalnya kinerja keuangan, SDM, dan teknologi) yang handal dan aspek eksternal perusahaan (misalnya pasar, customer base, relasi, lingkungan dan regulasi pemerintah). Salah satu hal yang berpengaruh terhadap kelangsungan sebuah perusahaan namun belum mendapat perhatian serius dari pihak perusahaan (pengurus dan pemegang saham) adalah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan / Corporate Social Responsibiliy (selanjutnya disebut CSR).

Menurut The World Business Council for Sustainable Development (WBCSR) in fox, et al (2002), definisi CSR atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan adalah :

“komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komuniti-komuniti setempat (lokal) dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan”.

Jadi dengan demikian CSR pada dasarnya memiliki keinginan yang sama yakni menjalankan bisnis dengan lebih bermartabat, dengan konsekuensi akan mengurangi profit. Pengusaha seharusnya menjalankan bisnis tidak semata untuk profitability melainkan lebih dari itu, sustainability. Kesadaran menjalankan bisnis bukan sekedar mencari profit semata, yang masih minim dimiliki oleh sebagian pelaku bisnis di Indonesia, namun faktor kesinambungan tersebutlah yang sangat menentukan masa depan sebuah usaha.

Sebagai contoh dari persoalan diatas, jika Anda seorang pengelola usaha, maka Anda punya pilihan untuk mendapatkan keuntungan antara 35 % sampai dengan minimal 10%. Agar mendapatkan keuntungan 35 %, Anda harus rajin melobi para pejabat, menjilat para atasan, mengelabui mitra usaha, dan mengesampingkan social responsibilty, tetapi risikonya bisnis Anda paling tidak hanya mampu bertahan selama 5 tahun, karena banyaknya masalah yang timbul dari praktik usaha semacam itu.

Namun, jika Anda memilih keuntungan yang lebih sedikit, 10% tetapi dengan memperhatikan etika bisnis serta mempunyai social responsibility yang besar, bisnis Anda jelas akan dapat berjalan dengan baik.

Pernyataan diatas diperkuat dengan hasil penelitian terbaru dari Hill, Ronald et.al (2007:)[1] yang melakukan penelitian terhadap beberapa perusahaan di Amerika Serikat, Eropa dan Asia yang melaksanakan praktek CSR lalu menghubungkan dengan value perusahaan, diukur dari nilai saham perusahaan-perusahaan tersebut. Penelitian tersebut menemukan bahwa setelah mengontrol variabel-variabel lainnya, perusahaan yang mempraktekan CSR pada jangka pendek (3-5 tahun) tidak mengalami kenaikan nilai saham yang siginifikan, namun dalam jangka panjang (10 tahun), perusahaan yang berkomitmen terhadap CSR tersebut, mengalami kenaikan nilai saham yang sangat signifikan dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang tidak melaksanakan praktek CSR.

Dari penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa CSR dalam jangka pendek memang tidak memberikan value yang memadai bagi pemegang saham, karena biaya CSR, malahan mengurangi keuntungan yang bisa dicapai perusahaan.Namun demikian, dalam jangka panjang, perusahaan yang memiliki komitmen terhadap CSR, ternyata kinerjanya melampaui perusahaan –perusahaan yang tidak memiliki komitmen terhadap CSR, atau dengan kata lain CSR dapat menciptakan value bagi perusahaan, terutama dalam jangka waktu yang panjang.

Peluang untuk hidup dan berkompetisi dalam jangka panjang pun akan lebih terjamin, karena masyarakat kita bukanlah masyarakat yg masih dapat dibodohi oleh sisi eksternal perusahaan, masyarakat sekarang lebih kritis dan peka terhadap kinerja dan kontribusi perusahaan terhadap dunia luar.

Selanjutnya kondisi sekarang di Indonesia Pada dekade terakhir kerapkali terjadi kecelakaan, musibah dan penipuan yang disebabkan oleh kalangan perusahaan, sehingga menimbulkan stigma negatif perusahaan di kalangan masyarakat (stakeholders) seperti pada kasus pencemaran di Teluk Buyat oleh perusahaan Newmont Minahasa, masalah pembakaran hutan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit di Sumatra dan Kalimantan, masalah pemberdayaan masyarakat suku di wilayah pertambangan Freeport Papua, masalah semburan lumpur panas Lapindo di Surabaya dan terakhir yang heboh adalah kasus Bank Century yang hingga kini masih triliunan rupiah dana nasabah tidak dapat dipertanggungjawabkan, ini merupakan contoh terburuk dari praktik bisnis yang tidak bertanggung jawab.

Memang hal ini lebih dikarenakan faktor teknis dan human error- yang telah menjadi “pemicu” untuk kembali menyerukan tanggung jawab kalangan perusahaan terhadap lingkungan sekitarnya. Sehingga menjadi alasan perlunya kesadaran terhadap Corporate Social Responsibility demi tercapainya sebuah keseimbangan dunia usaha antara pelaku dan masyarakat sekitar (Local community).

Semenjak keruntuhan rezim Orde Baru, masyarakat semakin berani berinspirasi dan mengekspresikan tuntutan terhadap perkembangan dunia bisnis Indonesia. Masyarakat telah semakin kritis dan mampu melakukan filterisasi terhadap dunia usaha yang berkembang di tengah masyarakat. Hal ini menuntut para pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya dengan semakin bertanggungjawab. Pelaku bisnis tidak hanya dituntut untuk memperoleh capital gain (profit) dari lapangan usahanya, melainkan mereka juga diminta untuk memberikan kontribusi baik materiil maupun imateriil kepada masyarakat dan pemerintah.

CSR yang seharusnya telah terintegrasi dalam hierarki perusahaan sebagai strategi dan policy manejemennya, tetap masih dipandang sebelah mata oleh kebanyakan pelaku bisnis di Indonesia. Esensi dan signifikansi dari CSR masih belum dapat terbaca sepenuhnya oleh pelaku bisnis, sehingga CSR sendiri baru sekedar wacana dan implementasi atas tuntutan masyarakat. Hal ini otomatis akan mengurangi implementasi dari CSR itu sendiri.

Masalahnya semakin rumit ketika tetap saja para pelaku dan investor berpijak pada stereotipe bahwa CSR tidak profitable, tidak berdampak langsung terhadap peningkatan pendapatan perusahaan. Mereka cenderung ingin yang instan, langsung mendapat profit besar, tanpa peduli terhadap masalah-masalah eksternal perusahaan. Selain itu, investor juga terlalu menginginkan realisasi investasi mereka untuk sektor riil dalam artian benar-benar berdampak langsung terhadap peningkatan pendapatan. Padahal, CSR memiliki dimensi yang jauh lebih rumit dan kompleks dari sekedar analisis laba-rugi.

Pengenalan terhadap budaya setempat atau analisis terhadap need assesment semestinya menjadi hal krusial yang mesti dilakukan. Poin diatas inilah yang terkadang menyebabkan konflik kepentingan, sehingga dunia usaha terkadang merasa program CSR bukanlah kompetisi mereka. Paradigma mengenai kontribusi pajak perusahaan terhadap negara semakin menambah runyam. Ada beberapa kalangan yang menilai jika masalah sosial hanya merupakan tanggungjawab negara saja, dunia usaha cukup membayar pajak untuk memberikan kontribusi terhadap masyarakat.

Pemikiran ini sudah tidak relevan, justru perusahaan yang akan memenangkan kompetisi global adalah perusahaan yang memiliki kemampuan public relation yang baik, salah satunya dapat dicapai dengan mencanangkan program CSR yang terintegrasi sebagai standar kebijakan dan strategi bisnis mereka. Lagipula, dengan adanya anggapan bahwa dunia usaha merupakan bagian yang terintegrasi dalam masyarakat, sudah sepatutnya jika dunia usaha berkewajiban untuk membantu menyelesaikan masalah sosial yang ada dalam kehidupan bermasyarakat.

Selain itu, semestinya dunia usaha tidak mengganggap CSR sebagai kewajiban yang memaksa, sebagai refleksi dari tuntutan masyarakat terhadap dunia usaha. Jika perusahaan masih mempertahanakan paradigma lamanya maka cepat atau lambat, benih irihati, ketidak puasan, kemarahan masyarakat (stakeholders) akan berdampak adanya anarkisme, vandalisme, maupun bentuk-bentuk kegiatan represif dari masyarakat lainnya akan berbuntut panjang pada penolakan kehadiran perusahaan dan aksi protes kalangan masyarakat karena tidak memberikan kotribusi yang nyata.

CSR DAN PERBANKAN

Terlepas dari hal diatas, bisnis perbankanpun (baca lembaga perbankan) tidak luput dari tanggung jawab sosial yang harus diemban, karena lembaga ini merupakan lembaga kepercayaan, sehingga dalam menjalankan fungsi perbankan wajib memperhatikan kepentingan nasabah dan kepentingan masyarakat (stakeholders). Apabila diabaikan maka cepat atau lambat bisnis perbankan bisa terpuruk.

Jadi dengan kata lain lembaga perbankan tidak saja memiliki tanggung jawab ekonomi moneter menerapkan prinsip kehati-hatian Bank (Prudential Bank), sebagai lembaga intermediasi untuk menerima dan menyalurkan kembali dana masyarakat, di luar itu juga ada tanggung jawab etis, sosial dan tanggung jawab discretionary, yaitu tanggung jawab yang semestinya tidak harus dilakukan tapi dilakukan atas kemauan sendiri.

Sebagai contoh Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia, sesuai Undang-Undang Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2004, Bank Indonesia diwajibkan untuk dapat mencapai dan memelihara kestabilan nilai tukar rupiah. Untuk mencapai tujuan Bank Indonesia tersebut, terdapat tiga pilar utama yang menjadi tugas Bank Indonesia yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan mengatur dan mengawasai bank. Selain dituntut untuk dapat melaksanakan tugas-tugas utamanya tersebut, Bank Indonesia juga diminta untuk tetap memiliki kepedulian terhadap lingkungan (komunitas) sebagai wujud corporate social responsibility.

CSR BPD

Disamping itu bank umum seperti BPD selain merupakan lembaga kepercayaan, juga merupakan lembaga pendukung pembangunan daerah, karena secara filosofi BPD didirikan dengan peran sebagai alat penggerak perekonomian daerah dalam menopang pembangunan infrastruktur, UMKM dan turut memikirkan kondisi sosial masyarakat lokal yang semakin marginal (baca semakin miskin) serta menjalankan fungsi intermediasi daerah (development bank).

Menurut Badan Pusat Statistik, Jumlah penduduk miskin (dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada tahun 2008 yakni 34,96 juta jiwa (15,4%), sedangkan jumlah pengangguran pada tahun 2008 sebanyak 9,43 jiwa (8,46%).

Memperhatikan kesenjangan yang semakin besar tersebut, muncul berbagai reaksi untuk memperbaikinya, antara lain program stimulus fiskal seperti perbaikan kesejahteraan, bantuan langsung tunai (BLT), beras rakyat miskin (RASKIN) dan sebagainya yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kenyataan menunjukkan bahwa upaya-upaya mengentaskan kemiskinan sering tidak membawa hasil, karena pemerintah tidak memiliki daya dan dana yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar tersebut.

Dengan memperhatikan kondisi tersebut sudah saatnya BPD seluruh Indonesia wajib menjadikan CSR sebagai “roh” untuk memberi nilai tambah kepada masyarakat setempat (stakeholders). Jika BPD masih mempertahankan paradigma lamanya maka siap-siaplah menerima risiko reputasi dan risiko hukum dikemudian hari.

Berangkat dari pemahaman diatas, dapat ditarik benang merah bahwa BPD wajib melaksanakan CSR dalam usahanya agar tercapai keseimbangan dan kesejahteraan masyarakat lokal, semoga...

[1] Hill, Ronald, Thomas Ainscough, Todd Shank and Dary Manullang, Corporate Social Responsibility and socially Responsible Investing : A Global Prespektive, Journal of Business Ethick; Januari 2007, Volume 70 Issue 2, p165-174.

Jam