Game Dragon hills mod apk
Game yang keren
Tuesday, December 07, 2010
MENEBAK ARAH CSR pasca UU PT 2007
Oleh Juniati Gunawan
07 April 2010
Heboh! Itu kata pertama yang dapat digambarkan saat Undang-Undang Perseroan Terbatas no. 40 tahun 2007 disahkan pada tanggal 20 Juli yang lalu. Ternyata yang membuat heboh adalah Pasal 74 yang mengatur tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan. Memang merupakan lompatan tajam yang cukup mengagetkan bagi kalangan bisnis di Indonesia, mengingat mereka baru saja ‘menyesuaikan diri’ dengan istilah ‘Corporate Social Responsibility (CSR)’ yang akhir-akhir ini amat sering disebut-sebut.
Walau kenyataannya praktek CSR sebenarnya adalah praktek ‘biasa’ yang telah lama dilakukan oleh perusahaan di Indonesia, namun banyak hal baru yang harus digali untuk memperkaya praktek tersebut. Misalnya kegiatan ‘donasi’, yang sering di klaim bahwa itu adalah praktek CSR. Memang benar, donasi adalah salah satu aspek dari CSR, namun CSR jauh mempunyai arti lebih dari itu. Makin marak dan berkembangnya kajian ilmiah yang memperdalam pengertian CSR, pada akhirnya bermunculan berbagai macam ‘ilmu baru’ yang berhubungan dengan isu ini. Tujuannya jelas, yaitu mengingatkan kepada semua manusia di bumi ini untuk sadar akan kelangsungan hidup yang seimbang di semua bidang. Cakupan yang amat luas ini dapat disederhanakan dengan pengertian ‘take and give’; apa yang telah kita ambil, harus kita kembalikan dengan adil. Ternyata prinsip yang sederhana ini sangatlah tidak mudah dijalankan. Kenyataannya, tidak hanya di Indonesia, berbagai masalah CSR merebak ke seluruh penjuru dan menjadi ‘isu dunia’, terlebih bagi banyak negara berkembang, termasuk kita disini.
Kembali ke persoalan UU PT yang berisi kewajiban pelaksanaan kegiatan CSR, ternyata lebih menghebohkan lagi karena Indonesia adalah satu-satunya negara yang memberanikan diri membuat UU bagi si ‘CSR’ ini. “No other country has done this before”, begitu komentar Prof. David Crowther, seorang professor CSR terkenal dari London, UK, saat mendengar hal ini. Memang beberapa negara mempunyai petunjuk pelaksanaan CSR, namun sifatnya adalah code of conduct, bukan merupakan suatu hukum. Lebih jauh, Prof. Crowther mengajukan pertanyaan yang perlu dijadikan perenungan: Apa bentuk kegiatan yang diwajibkan? Bagi siapa? Bagaimana bentuk pelaporannya? Siapa yang mengevaluasi? Bagaimana standar evaluasinya? Dan bermacam-macam lagi pertanyaan dilontarkannya, yang tidak sepenuhnya bisa terjawab sekarang. Maka kini akan kita coba siapkan jawabannya…?
Walau tanpa jawaban memuaskan, akhirnya si professor masih begitu antusias dengan menegaskan; “Anyway, I would be interested to hear how Indonesia is doing this”. Kalimat ini agaknya berlaku bagi kita semua yang memang ingin mengetahui bagaimana hal ini nantinya dilakukan. Perlu dicermati apakah orang memang tertarik dan ingin mengetahui ‘keberhasilan’ Indonesia dalam menerapkan pasal ini atau bahkan sebaliknya, mereka skeptis dan ingin segera mengetahui bagaimana ‘gagalnya’ pelaksanaannya (mudah-mudahan tidak!) hingga menimbulkan persoalan-persoalan lain yang masih menumpuk. Sambil menyiapkan jawaban atas semua pertanyaan diatas, menyiapkan hati untuk mendukung yang terbaik, mari kita kaji kembali aturan ini.
Tanpa bermaksud untuk apriori terhadap pihak manapun, artikel ini dimaksudkan sebagai sebuah opini yang mudah-mudahan berguna untuk langkah ke depan bagi semua pihak, baik pemerintah maupun dunia usaha. Kemungkinan bergeser-tidaknya arah CSR juga akan coba diprediksi, sekali lagi, untuk memberikan gambaran kira-kira apa konsekuensi dari sebuah hukum yang harus kita jalankan dengan baik. Apapun hasilnya, toh kita harus melangkah ke depan.
Pra-Undang Undang dan Lingkup CSR
Perancis merupakan Negara yang sudah mewajibkan perusahaan publiknya mengeluarkan CSR report, walau secara implicit kewajiban ini menyiratkan adanya keharusan melakukan CSR, namun masih terkesan sukarela dalam kualitas dan kuantitas aktivitasnya. Kewajiban ini tidak menjadi kendala karena tanpa keharusan mengeluarkan laporan CSR pun, perusahaan publiknya memang sudah sadar untuk selalu melaporkan kegiatan CSRnya. Artinya, kewajiban adanya CSR report merupakan kewajiban untuk ‘memformalkan’ suatu kegiatan, bukan ‘memaksakan’ adanya kegiatan. Mengutip pernyataan ketua umum KADIN Indonesia; Mohamad S. Hidayat bahwa UU PT pasal 74 ini dimaksudkan untuk mengakomodasi praktek CSR yang selama ini berjalan namun belum diatur dalam undang-undang lama. Alangkah baiknya bila pernyataan ini dibarengi dengan fakta sejauh mana praktek itu telah dicermati, seperti misalnya, bentuk CSR seperti apa yang sudah dilakukan oleh perusahaan selama ini, benarkah itu bisa disebut sebagai CSR, atau kegiatan sosial yang hanya merupakan satu aspek dari arti CSR yang sesungguhnya, benarkah pengertian CSR telah dipahami oleh semua pihak, termasuk DPR, dan banyak lagi pertanyaan yang bisa diajukan. Bila informasi ini tersedia, maka akan lebih mudah mendefinisi CSR yang sudah dilakukan oleh perusahaan di Indonesia dan implikasinya untuk menuju ke aspek-aspek CSR selanjutnya. Memang inilah yang harus kita pelajari dan sosialisasikan sesuai dengan tujuan akhir dari UU PT ini yaitu kearah pelaksanaan CSR yang menyeluruh dan berhasil guna bagi semua pihak.
Secara teori, pelaksanaan CSR yang dibuat mandatory masih meragukan karena begitu banyak aspek yang harus dicermati. Seandainya mungkinpun, bisa jadi persoalan yang timbul akan semakin banyak dan akhirnya kegiatan CSR itu sendiri yang menjadi korban demi ‘sang regulasi’. Pada artikel ‘Regulasi dalam CSR: perlukah?’ di majalah ini beberapa waktu yang lalu, sebenarnya prediksi arah meregulasikan CSR sudah dibahas, lengkap dengan tahapan persiapannya. Yang menjadi pertanyaan, apakah memang DPR sudah melakukan tahap persiapan tersebut untuk menjadikan CSR sebagai sebuah regulasi? Bila belum, ini bisa menjadi kendala. Namun masih ada harapan untuk mengkaji tahapan ini sebelum peraturan pelaksanaan UU dikeluarkan. Sedikit mengurai tahapan yang pernah dikemukakan sebelumnya, yaitu:
1. Guidelines
2. Specific recommendations
3. General mandatory requirements
4. Mandatory requirements
Bila kenyataannya kini kita sudah pada tahap ke-4, yaitu mandatory reguirements, tak ada salahnya menyiapkan kembali tahap 1 sampai 3 bagi peraturan pelaksanaannya, apabila memang masih diperlukan. Artikel ini tidak akan membahas lagi tiap tahap diatas seperti yang pernah diuraikan sebelumnya, namun mengurai hal-hal yang perlu untuk langkah selanjutnya.
Arah pelaksanaan CSR yang harus dijalankan oleh perusahaan akan menjadi lebih jelas bila beberapa aspek dibawah ini diurai sebagai panduan, misalnya:
1. Pelaksana
Pelaksana menyangkut kelompok individu dalam sebuah unit yang bertanggung jawab untuk melaksanakan aktivitas sosial perusahaan dengan jenjang dan bagian pekerjaan yang jelas. Unit ini dapat berdiri sendiri yang langsung bertanggung jawab kepada kepala bagiannya, misalnya unit community development dibawah departemen CSR atau menjadi unit yang bertanggung jawab kepada atasannya bersama unit lain, misalnya dibawah departemen hubungan masyarakat. Idealnya memang CSR merupakan unit yang berdiri sendiri sehingga tujuan dan kegiatannya tidak bercampur dengan unit lain. Yang lebih penting, pelaksanaannya bisa menjadi lebih independen sehingga laporannya pun menjadi tersendiri. Otoritas dari unit atau departemen CSR perlu diperhatikan untuk menjamin kualitas pelaksanaan yang berhasil guna. Oleh karenanya, perusahaan harus memikirkan yang terbaik bagi posisi unit CSR ini dalam sebuah struktur organisasi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.
2. Lingkup pelaksanaan
Aktifitas CSR untuk tiap perusahaan tidak dapat disamakan. Aktifitas ini harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi disekitar perusahaan. Yang jelas, lingkungan terdekat perusahaan biasanya menjadi prioritas utama aktivitas sosial. Tujuannya agar ‘ijin sosial’ dari masyarakat sekitar atas operasi perusahaan dapat berjalan lancar. Yang perlu ditekankan adalah proses pembelajaran dan kemandirian masyarakat sebagai respon atas kegiatan sosial yang dilakukan perusahaan tidak boleh ditinggalkan. Tanpa hal ini, tidak mustahil aktivitas CSR menjadi sia-sia. Rencana aktivitas CSR dapat di buat awal tahun, sama halnya dengan membuat activities plan yang dimasukkan dalam anggaran belanja. Bila ini dilakukan, CSR dapat dikatakan telah menjadi suatu bagian dari core business perusahaan.
Box 1
Lingkup aktivitas CSR secara garis besar dapat digolongkan menjadi enam bagian, yang masing-masing dapat diuraikan lebih lanjut dan tidak akan dibahas detail dalam kesempatan ini:
i. Lingkungan hidup (environment), meliputi; pencegahan semua polusi, pemanfaatan limbah, daur ulang, pelestarian lingkungan hidup, pencegahan pemanasan global, dll
ii. Efisiensi energi (energy efficiency), seperti penggunaaan energi alternatif, penghematan energi disemua bidang, atau menyuarakan kesadaran atas krisis energi.
iii. Sumber daya manusia (human resources) ditujukan terutama untuk karyawan perusahaan atas haknya, seperti pelatihan, gaji yang mencukupi, lingkungan kerja yang sehat dan aman, jaminan kesehatan atau tunjangan lain, serta hubungan yang harmonis antar karyawan di semua jenjang manajemen.
iv. Pengembangan masyarakat (community development)
Aspek ini yang sering kali menjadi perhatian utama perusahaan sebagai bentuk pelayanan masyarakat, baik dibidang pendidikan, kesehatan, maupun donasi. Namun sayangnya kurang dibarengi dengan pendidikan moral sehingga kemandirian masyarakat kurang terbentuk.
v. Produk (product)
Perhatian terhadap keamanan dan kualitas produk, terutama produk konsumsi telah mendapat perhatian besar dari masyarakat dunia. Bila perusahaan tidak dapat menjamin kualitas produk maka kegiatan tanggung jawab sosialnya terhadap masyarakat sudah tidak berarti.
vi. Kelangsungan hidup (sustainability) menjadi isu yang sangat penting karena mencakup pengertian yang luas dan dalam. Perusahaan harus menunjukkan perhatian dan cara dalam menjaga nilai ekonomi dan sosial nya dalam berusaha memenuhi kepentingan stakeholders-nya.
Bagian lingkup CSR ini dapat dibagi secara spesifik lagi sehingga beberapa literatur menggolongkannya menjadi tujuh, hingga delapan. Kesemuanya mempunyai inti yang sama, yaitu kesejahteraan bagi bumi menyangkut semua penghuninya. Bila kesadaran ini ada bahwa kita semua adalah bagian dari bumi ini, maka kegiatan CSR akan menjadi suatu kegiatan yang secara otomatis dilakukan dengan sendirinya. Maka, kesemua lingkup CSR diatas akan lebih mudah dijalankan secara bersama-sama dengan berkesinambungan dan seimbang.
1. Pelaporan
Berbagai bentuk laporan yang menggambarkan aktivitas sosial telah diadopsi oleh beberapa perusahaan Indonesia, seperti misalnya environmental report, CSR report, atau sustainability report. Bila tanpa laporan tersendiri, biasanya perusahaan mengungkapkan kegiatan sosial yang dilakukannya dalam laporan tahunan, dalam management discussion section, atau sub judul tersendiri. Kesemuanya mempunyai bentuk dan uraian yang pada dasarnya sama, walau seharusnya menitikberatkan hal yang berbeda, dengan sasaran yang berbeda pula. Ketiadaan acuan yang jelas untuk laporan-laporan ini membuat prakteknya pun menjadi tidak standar. Kemudian, ditambah dengan sulitnya melaporkan aktivitas sosial serta pengukurannya telah menjadikan alasan tersendiri mengapa CSR sulit di buat mandatory. Namun bila ternyata sekarang sudah mandatory, tentunya pengukuran pelaporan ini perlu dipikirkan secara matang.
2. Standar pelaksanaan dan pelaporan
Aspek ini menggarisbawahi standar untuk kedua aspek diatas (pelaksanaan dan pelaporan), dimana sekali lagi ditekankan bahwa standar yang jelas untuk ukuran pelaksanaan dan pelaporan perlu menjadi perhatian yang mendalam.
3. Tindak lanjut
Bergulirnya suatu program ke program secara berkesinambungan dalam pelaksanaan CSR menjadi kunci keberhasilan dari suatu wujud tanggung jawab sosial perusahaan hingga ada hasil yang dapat dibuktikan. Sayangnya, hal ini belum dapat terwujud secara maksimal. Masih banyak pelaksanaan CSR yang bersifat setempat tanpa mampu berkembang.
4. Evaluasi dan monitoring
Tanpa ada standar pelaksanaan dan pelaporan, evaluasi dan monitoring atas kegiatan CSR akan sulit dilakukan. Terlebih dengan diperlukannnya pihak independen sebagai penilai ataupun pemberi arahan untuk kemudian menjadi kajian pemerintah. Disini keberadaan pihak pemerintah yang diwakili oleh suatu badan sangat penting artinya untuk secara serius mengevaluasi pelaksanaan CSR. Aspek ini yang tampaknya masih perlu perjuangan panjang dan cukup berat. Harus mulai dari sekarang, bila memang tuntutan sudah harus dijalankan. Dari semua aspek dan lingkup CSR, kini mulai tampak bila implementasi UU PT pasal 74 ini memerlukan kajian yang harus diperjelas secara menyeluruh.
Membedah UU PT pasal 74/2007
Undang-undang Perseroan Terbatas pasal 74 / 2007 yang disahkan DPR telah menandai babak baru pengaturan CSR di negeri ini. Keempat ayat dalam Pasal 74 UU tersebut menetapkan kewajiban bagi semua perusahaan di bidang sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Satu demi satu ayat dalam pasal tersebut akan coba kita cermati.
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Ayat ini disertai dengan penjelasan tentang persero yang berkegiatan di bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam:
Yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam” adalah Perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam” adalah Perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.
Ayat satu ini memerlukan penjelasan lebih lanjut karena definisi tentang perseroan yang dimaksud. Apakah ada perusahaan yang tidak berhubungan atau berkaitan dengan sumber daya alam? Sekalipun perusahaan yang tergolong non-sensitive industri terhadap isu sosial, misalnya perbankan, mereka tetap saja menggunakan sumber daya alam, contohnya kertas. Bahkan mungkin industri di bidang ini menggunakan begitu banyak kertas yang jelas diambil dari bubur kertas yang berasal dari pohon, yang merupakan sumber daya alam. Jadi tidak hanya perusahaan yang secara terang-terangan mengekploitasi sumber daya alam saja, misalnya perusahaan timah, gas, atau tambang, namun semua perusahaan berkaitan dengan penggunaan sumber daya alam. Pertanyaan selanjutnya, lalu apa yang sebenarnya dimaksud dengan perseroan dalam ayat ini? Penafsiran yang luas ini perlu dispesifikasi bila memang ada perusahaan dalam bidang tertentu yang dituju. Namun juga bukan berarti perusahaan yang tidak dituju mendapatkan alasan untuk tidak melakukan CSR, bukan?
(2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.Tanpa penjelasan, ayat ini menyiratkan pertanyaan tentang ‘kepatutan’ dan ‘kewajaran’. Dengan kondisi perusahaan yang berbeda-beda, maka kepatutan dan kewajaran masing-masing perusahaan juga akan berbeda. Bagaimana cara mengukur kepatutan dan kepatuhan tersebut? Alangkah baiknya bila ada keterangan lebih lanjut mengenai hal ini.
(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat tersebut di jelaskan sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan “dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah dikenai segala bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait.
Sekali lagi, ‘sanksi yang diatur dalam perundang-undangan yang terkait’ yang dimaksudkan disini menimbulkan pertanyaan: undang-undang yang mana? Apakah undang-undang lingkungan hidup atau sosial untuk hal yang berkaitan dengan lingkungan dan sosial? Hendaknya bila merujuk pada UU yang lain, penjelasannya dapat ditulis lebih detil.
Lebih jauh, perusahaan yang tidak melakukan CSR akan dikenakan sanksi. Pernyataan ini langsung mengacu pada standar pelaksanaan dan pengukurannya. Apa saja hal yang dapat dikategorikan dalam pelanggaran tersebut? Bagaimana pengukurannya? Bagaimana pelaporannya? Siapa yang berwenang memutuskan sanksi? Siapa yang mengawasi? Banyak hal yang memerlukan jawaban.
Seperti sudah didiskusikan diatas, standar pelaksanaan dan pelaporan menjadi acuan pelaksanaan sehingga perlu ada tim independen yang mengukur pelaksanaan tersebut untuk memberikan penilaian apakah memang perusahaan sudah digolongkan melakukan CSR atau belum. Tentunya dengan mengevaluasi antara pelaporan yang diberikan dengan pelaksanaan yang sebenarnya, serta proses hukum itu sendiri, menyangkut aparat dan badan hukum yang menjalankan. Tanpa ukuran standar, evaluasi, pelaporan, dan sanksi yang jelas, maka ayat ini justru akan menimbulkan banyak persoalan baru karena memberikan celah manipulasi. Bukan tidak mungkin, akhirnya hal yang ditakutkan akan terjadi, yaitu makin melebarnya kesempatan melakukan hal-hal yang tidak diingini dan yang terparah adalah kegiatan CSR yang dijadikan kedok dan dipolitisi. Sungguh ironi bila hal ini sampai terjadi karena tujuan pelaksanaan CSR untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi semua pihak, malah akan menguntungkan pihak tertentu.
Kemudian, bila akan ada sanksi yang merupakan disincentive dari konsekuensi tidak dilakukannya hal yang diwajibkan, maka perlu juga adanya incentive bagi yang melakukannya. Bila memang biaya CSR dapat dimasukkan dalam biaya operasional perusahaan, maka tentu akan menjadi komponen pengurang pajak. Hal ini bisa digolongkan menjadi insentif, namun lagi-lagi, harus di atur dengan jelas bagaimana pengalokasiannya, bagaimana auditnya, yang berujung kembali pada standar dan pengukuran.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Hendaknya Peraturan pemerintah yang kita nantikan sekarang mampu memberikan arahan yang lengkap, jelas, dan pasti dalam melakukan pasal 74/2007 ini. Jelas bahwa ternyata masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh pemerintah secara serius untuk mengimplementasikan UU ini dengan memperhatikan banyak faktor diatas.
Menebak Arah CSR
Pendekatan regulasi untuk CSR diharapkan dapat menambah semangat pelaksanaan CSR dengan baik dan benar, serta mampu menegakkan prinsip transparansi dan fairness dalam dunia bisnis. Lebih jauh, perlu dibuktikan bahwa pendekatan hukum harus dapat membawa pengaruh yang baik, misalnya memperbaiki iklim investasi. Pelaksanaan kegiatan CSR dengan kesadaran tulus hendaknya tetap menjadi prioritas utama, sehingga hukum dapat berperan maksimal dalam mengarahkan dan mendisiplinkan kegiatan tersebut. Bukan sebaliknya, hukum justru menghambat kreativitas dan ketulusan dalam melakukan kegiatan CSR. Hal ini yang harus dihindari.
Kegiatan CSR tampaknya akan semakin berkembang di masa mendatang, baik dari segi kuantitas dan kualitas. Hal ini terlihat dari survei sekilas yang dilakukan dengan meneliti pengungkapan-pengungkapan yang ada dalam laporan tahunan perusahaan publik Indonesia selama 4 tahun, yaitu dari tahun 2003 hingga 2006. Adanya tren kenaikan pengungkapan mencerminkan kepedulian akan kegiatan CSR yang semakin meningkat. Tanpa mengecilkan arti UU PT ini, kecenderungan akan peningkatan kegiatan CSR akan terus naik, walau tanpa hukum yang mengatur. Bahkan dari bentuk laporannya pun semakin beragam. Tampak bahwa tuntutan masyarakat dan gema CSR memegang peranan yang lebih penting, yang menyebabkan perusahaan-perusahaan makin sadar dan melakukan aktivitas ini, bukan semata karena ada atau tidaknya tuntutan hukum. Hal ini dapat dilihat dengan tanggapan yang luar biasa negara-negara dunia atas kesadaran ancaman global warming and climate change yang diserukan oleh PBB baru-baru ini. Berbagai tindakan dilakukan untuk mencegah perluasan pemanasan global yang sudah membutuhkan perhatian yang sangat serius. Menanggapi hal ini, Indonesia juga tak kalah aksi dengan menabuh genderang kampanye untuk menanam 10 juta pohon di berbagai daerah di Indoensia yang langsung dipimpin oleh Ibu Negara. Sebuah aksi terpuji, wujud peduli.
Mencoba menebak arah CSR pasca UU PT tampaknya tidak akan jauh berbeda dalam lima tahun ke depan dengan apa yang sudah dijalankan sekarang, dalam pengertian masih berfokus pada masalah sosial, yakni kemiskinan dan pendidikan. Pelayanan untuk komunitas sekitar perusahaan juga tetap akan menjadi yang utama. Kegiatan CSR akan berkembang seiring dengan isu ekonomi, juga situasi yang terjadi, yang terkait erat dengan peran pemerintah. Hal ini sama dengan praktek yang dijalani oleh kebanyakan negara berkembang. Seperti yang sudah diungkapkan, kualitas dan kuantitasnya akan menunjukkan tren peningkatan walau lakon-lakonnya masih akan didominasi oleh perusahaan-perusahaan multi nasional sebagai pionir. Kemungkinan terbaginya perusahaan-perusahaan juga bisa diprediksi, yakni perusahaan dengan skala besar, menengah, dan kecil, misalnya, akan melakukan jumlah dan progres kualitas kegiatan CSR yang berbeda-beda. Banyaknya variabel yang mempengaruhi pelaksanaan CSR (misalnya ukuran perusahaan, komitmen manajemen, status perusahaan, komposisi kepemilikan, reputasi, atau tekanan eksternal) dalam lima tahun ke depan agaknya mulai menunjukkan gambar yang lebih nyata.
Perusahaan, seperti pada umumnya, juga akan tetap memperhitungkan kegiatan CSR dengan komposisi cost dan benefit yang ditimbulkannya. Seperti halnya dengan biaya marketing yang dapat ditentukan jumlahnya, namun sulit pengukuran benefitnya (misalnya iklan), biaya dan benefit pelaksanaan CSR juga demikian. Untuk mencoba melihat respon, dapat dilakukan, misalnya dengan kuesioner yang ditujukan pada komunitas perusahaan sekitar untuk melihat respon atas beberapa kegiatan yang dilakukan. Atau, dalam lingkup yang lebih kecil setelah melakukan kegiatan CSR yang cukup berarti, perhitungan penjualan produk dapat dicermati.
Uji coba sederhana telah dilakukan dalam satu kunjungan ke wilayah tertentu yang selalu memakai produk merek A sebagai pasta gigi. Dengan kegiatan pembersihan lingkungan dan penyuluhan pentingnya kesehatan gigi sebagai wujud CSR yang dilakukan oleh sebuah perusahaan yang memproduksi produk merek B (produk yang sama), dalam waktu 3 bulan, penjualan produk merek B di wilayah ini meningkat tajam. Lalu, apakah CSR menjadi alat marketing? Tentu hal ini tidak dapat dipungkiri sebagai suatu akibat yang positif, namun ini bukanlah tujuan CSR. Perlu diingat kegiatan CSR jelas akan memberikan dampak pada peningkatan image perusahaan, bahkan penjualan, tapi jangan coba-coba membuat CSR sebagai alat marketing, karena hasilnya jelas akan berbeda. Prioritas utama harus kembali pada pengertian CSR yang benar, karena bila memang hal ini dilakukan dengan benar pula, toh perusahaan sendiri yang akan mendapat dampak positifnya, serta mutual benefits dapat terjaga.
Kini, pelaksanaan CSR di Indonesia sudah menjadi mandatory untuk perusahaan-perusahaan ’tertentu’. Berbagai studi menunjukkan keberhasilan pelaksanaan CSR terkait dengan kerjasama perusahaan, masyarakat, dan pemerintah. Ketiga peran tersebut harus sinergi dan membutuhkan kepastian hukum. “Developing countries, actually have most of the necessary rules to support CSR, but often do not enforce them“ . Hal ini dikatakan oleh Thomas R Vant, sekretaris jendral, Business and Industry Advisory Committee OECD (the Organisation for Economic Co-operation and Development), dalam artikel di Financial Times, terbitan UK. Kini memang peran baik pemerintah sungguh diharapkan dengan memberikan aturan main yang jelas dan legal enforcement yang adil. Untuk perusahaan, disarankan bahwa adanya hukum CSR ini dapat menjadikan pelaksanaan CSR semakin mantap: beyond the law, to see the ’ideal’ pratice of CSR, not merely following the rules.
Penulis adalah PhD cand. on CSR, Edith Cowan University, Perth-Western Australia
Subscribe to:
Posts (Atom)