Game Dragon hills mod apk

Game yang keren

Friday, May 30, 2008

KEMISKINAN + kenaikan BBM - CSR = bank DAERAH

  • Kemiskinan dan Kenaikan BBM :
Masalah kemiskinan adalah problem sosial klasik, sudah dibicarakan sejak jaman dahulu kala dan masih terus dibicarakan, karena hingga detik ini belum juga dapat diselesaikan. Terkadang kemiskinan itu dianggap memalukan seseorang sehingga merasa harus menjauh dan tidak mengakuinya. Namun tidak sedikit pula orang memanfaatkan kemiskinan sebagai media untuk memperoleh dana bantuan atau mengemasnya dalam proyek-proyek sosial dan bahkan masalah kemiskinan itu dibicarakan dalam forum-forum resmi yang menghadirkan pakar/ahli kemiskinan, dibuat di hotel berbintang dan disiarkan secara langsung melalui media televisi ke seluruh penjuru tanah air, mengeluarkan biaya ratusan juta bahkan milyaran rupiah, namun mengapa kemiskinan itu tidak hapus juga ?. jawabannya “…..tanyakan saja pada rumput yang bergoyang…...” (sebait sair lagu Ebit G. Ade).
  • Menurut Badan Pusat Statistik, Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2007 sebesar 37,17 juta orang atau sebesar 16,58 % dan sudah pasti tingkat kemiskinan akan bertambah lagi dengan adanya kenaikan BBM sebesar 30 % nanti. Pemerintah harus bersiap-siap menerima pertambahan penduduk miskin baru sedikitnya 15,68 juta, artinya, dengan pertambahan penduduk miskin itu, penduduk miskin Indonesia pasca kenaikan harga BBM akan menjadi 52,85 juta orang. Jumlah yang bombastis dan tentu saja akan menambah berbagai problem sosial di negeri ini.
Penyebab dari kemiskinan itu dipengaruhi oleh dua kondisi yakni kemiskinan alamiah dan karena buatan. Kemiskinan alamiah terjadi karena sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan terjadi musibah atau bencana alam. Sedangkan “kemiskinan buatan” terjadi karena dikondisikan sedemikian rupa oleh lembaga pemerintah atau non pemerintah setempat yang ada di masyarakat, sehingga masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia. Itulah yang disebut kemiskinan struktural akibat dari pengaruh kondisi struktur sosial setempat.
  • Sebagai contoh Dinas Kesehatan Propinsi NTT mencatatat bahwa berdasarkan data dari 20 kabupaten/kota di NTT periode Januari 2007 hingga akhir Februari 2008, terdapat 497.777 bayi di bawah lima tahun (balita) mengalami gizi buruk. Dari jumlah tersebut, 416.197 (83,64 %) adalah penderita gizi buruk (malnutrision), 81.380 (16,36%) kurang gizi (under nutrition), 68.873 anak gizi buruk dan komplikasi (malnutrition/out complication) sebanyak 12.340. Sedangkan balita penderita busung lapar sebanyak 167 anak. Terakhir yang mencuat di awal tahun 2008 ini adalah busung lapar di Rote-Ndao. Hingga saat ini sudah tercatat sebanyak lima orang balita meninggal dunia akibat busung lapar. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Rote Ndao menetapkan kasus busung lapar tersebut sebagai kejadian luar biasa (KLB). Pemkab Rote Ndao pun membutuhkan dana miliaran rupiah untuk mengatasinya.
Sipri Seko (http://sipriseko.multiply.com/journal/item/59) dalam tulisannya menjelaskan bahwa dana miliaran rupiah yang dialokasikan pemerintah untuk mengatasi persoalan busung lapar ternyata terbuang percuma. Tak ada yang menyangkal kalau kemudian ada selentingan yang mengatakan bahwa kondisi ini sengaja diciptakan untuk menjadi lahan meraup rupiah yang beterbangan sangat rendah. Praktek-praktek inilah yang memperkuat pendapat bahwa kemiskinan di Indonesia merupakan kemiskinan strukural. Penanganan Kemiskinan
  • Dalam Teori ekonomi dijelaskan bahwa untuk memutus mata rantai lingkaran kemiskinan dapat melalui peningkatan keterampilan sumber daya manusianya, penambahan modal investasi, dan mengembangkan teknologi. Pemerintah dalam program pengentasan kemiskinan sudah banyak dilaksanakan seperti : pengembangan desa tertinggal, perbaikan kampung, gerakan terpadu pengentasan kemiskinan dan bantuan langsung tunai (BLT) namun hingga kini persoalan kemiskinan belum juga tuntas. Kenyataan menunjukkan bahwa upaya-upaya pengentasan kemiskinan sering tidak membawa hasil, karena pemerintah tidak secara tuntas dan serius mengelolah kepemerintahan yang baik (good governance) dan apalagi menjadi sustainable governance masih jauh dari angan-angan.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa saat ini tidak perlu banyak berharap dengan upaya-upaya pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Oleh karena itu memperhatikan kondisi tersebut sudah saatnya Bank-bank Daerah sebagai pengerak ekonomi rakyat memperhatikan kepentingan masyarakat lokal (stakeholders). Jika Bank-bank Daerah masih mempertahankan paradigma lamanya maka cepat atau lambat, benih irihati, ketidakpuasan, kemarahan masyarakat (stakeholders) yang termarginal akan berbuntut panjang pada penolakan kehadiran perusahaan dan aksi protes kalangan masyarakat karena tidak memberikan kontribusi yang nyata.
  • Berangkat dari pemahaman diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Bank Daerah perlu care / peduli terhadap masyarakat lokal (stakeholders) dengan maksud agar tercapai keseimbangan dan kesejahteraan masyarakat lokal.
  • FILOSOFI BANK DAERAH DAN CSR
Pada hakekatnya Bank Daerah Seluruh Indonesia (BPD-SI) didirikan dengan peran yakni sebagai alat penggerak utama perekonomian daerah dalam menopang pembangunan infrastruktur, UMKM dan turut memikirkan kondisi sosial masyarakat lokal yang semakin termarginal (baca semakin miskin) serta menjalankan fungsi intermediasi daerah (development bank). Pendapat awam melihat bahwa ada dua peran yang bertolak belakang yakni disatu sisi Bank Daerah sebagai alat bisnis untuk kepentingan shareloders (pemegang saham) dan dilain sisi sebagai alat sosial.
  • Menurut Sunarsip (Kepala Ekonom IEI), kondisi sekarang Bank Daerah telah mencebur terlalu jauh sebagai Bank yang tidak mungkin dapat bersaing dengan Bank Umum lainnya karena kelasnya berbeda, ibaratnya sama saja mempertemukan antara Elias Pical dengan Mike Tyson.
Melihat kondisi seperti ini dalam rangka “back to habit”, sudah saatnya Bank Daerah melepaskan jubah paradigma lamanya yang hanya terfokus pada profit oriented namun berparadigma baru yakni triple botom line (triple P), selain mencari keuntungan (Profit) tetapi juga Bank Daerah harus memperhatikan kondisi marginal masyarakat lokal /stakeholders (People) dan kondisi lingkungan sekitarnya (Planet) agar tetap sustainable walaupun didera dengan kondisi ekonomi nasional yang tidak stabil. Inilah yang sekarang kita kenal dengan “corporate social responsibility /CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan”.
  • Hasil penelitian terbaru dari Hill, Ronald et.al (2007:)[1] di beberapa perusahaan Amerika Serikat, Eropa dan Asia yang melaksanakan praktek CSR lalu menghubungkan dengan value perusahaan diukur dari nilai saham perusahaan-perusahaan tersebut, menemukan bahwa setelah mengontrol variabel-variabel lainnya, perusahaan yang mempraktekan CSR pada jangka pendek (3-5 tahun) tidak mengalami kenaikan nilai saham yang siginifikan, namun dalam jangka panjang (10 tahun), perusahaan yang berkomitmen terhadap CSR tersebut, mengalami kenaikan nilai saham yang sangat signifikan dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang tidak melaksanakan praktek CSR.
Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa CSR dalam jangka pendek memang tidak memberikan value yang memadai bagi pemegang saham, karena biaya CSR, malahan mengurangi keuntungan yang bisa dicapai perusahaan. Namun demikian, dalam jangka panjang, perusahaan yang memiliki komitmen terhadap CSR, ternyata kinerjanya melampaui perusahaan –perusahaan yang tidak memiliki komitmen terhadap CSR, atau dengan kata lain CSR dapat menciptakan value bagi perusahaan, terutama dalam jangka waktu yang panjang. Peluang untuk hidup dan berkompetisi dalam jangka panjang pun akan lebih terjamin, karena masyarakat kita bukanlah masyarakat yang masih dapat dibodohi oleh sisi eksternal perusahaan, masyarakat sekarang lebih kritis dan peka terhadap kinerja dan kontribusi perusahaan terhadap dunia luar.
  • Tulisan ini akan dilanjutkan pada kesempatan berikutnya ...............................

Jam